Rupanya kegerahan atau boleh dikatakan kejengkelan Tim Pemenangan Prabowo (BPN) atas hasil banyak lembaga survei independen sudah sampai puncaknya.Â
Walaupun mereka berulang kali mengatakan tidak mengakui hasil diluar survei internal, namun ketika ada hasil survei yang menguntungkan, mereka langsung mengakuinya.Â
Entah apa yang menjadi pertimbangan BPN yang mengancam para lembaga survei yang telah merilis hasil mereka dengan hasil lebih dari 20 persen. Mereka akan menuntut lembaga survei tersebut jika pada kenyataannya setelah pencoblosan nanti hasilnya tidak seperti itu.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak juga yakin dengan hasil survei internal mereka. Padahal, jika mereka yakin akan hasil survei internal yang menunjukkan angka berbeda, tinggal adu metode dan proses, mana yang lebih kredibel dan mana tidak.
Tapi daripada adu metode dan proses, mereka malah bawa kasus ini kepada ranah hukum.Â
Penulis melihat, ancaman ini justru akan membuka kotak Pandora mereka sendiri. Mengapa?
Dengan membawa kasus ini ke ranah hukum, berarti mereka juga harus siap dituntut jika hasilnya nanti menunjukkan bahwa Jokowi menang, entah berapapun persentasi kemenangan itu. Sebab saat ini mereka sudah mengklaim, berdasarkan hasil survei internal bahwa Jokowi sudah ketinggalan.
Apakah mereka juga siap untuk dianggap penyebar hoax karena mengeluarkan hasil survei internal yang tidak sesuai dengan kenyataan?
Untuk penulis, tuntutan dan ancaman seperti yang dilakukan oleh BPN menunjukkan dengan jelas betapa Pilpres kali ini telah dicemari oleh keinginan berkuasa yang berlebihan.Â
Keinginan ini telah melanggar obyektivitas, rasionalitas dan kewajaran. Terkesan bahwa ada kelompok tertentu yang mau melakukan apa saja untuk memenangkan jagoannya.
Sikap seperti ini pastilah telah mengingkari nilai hakiki demokrasi yang seharusnya kita junjung bersama.Â