Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Betang, dari Stigma Hina Menjadi Kebanggaan

19 Maret 2019   08:29 Diperbarui: 19 Maret 2019   08:43 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis adalah putra Dayak, lebih tepatnya dari sub suku Dayak Pompakng, kampung Lintang, Sanggau Kapuas.

Tidak heran kalau penulis sangat senang ketika Kyai Ma'ruf Amin menyebutkan contoh salah satu kearifan lokal yang bernilai luhur dan patut diangkat ke dunia global, kearifan Rumah Betang. 

Walau penulis terlahir sebagai putra Dayak, namun bentuk fisik dari rumah Betang sendiri baru penulis lihat saat sudah remaja. 

Ya, Rumah Betang atau rumah panjang, yang sebenarnya merupakan simbol keluhuran budaya Dayak, sempat menjadi stigma negatif bagi penguasa.

Adalah saat Orde Baru berkuasa. Saat itu pemerintah sedang gencar - gencar nya memberantas gerakan komunisme yang bersembunyi di perbatasan dengan Malaysia. 

Gerakan Komunisme itu dipimpin seorang tokoh Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah atau S.A. Sofyan didukung pasukan gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan pasukan rakyat Kalimantaan Utara (Paraku).

Untuk membasmi gerakan Komunisme ini, selain mengejar para tokoh komunis dan pendukungnya, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk merobohkan rumah - rumah Betang atau rumah panjang. 

Alasannya karena pemerintah masa itu melihat rumah panjang, dengan struktur nya itu paling strategis untuk berkumpul dan menyebarkan paham komunisme. 

Memang kampanye pembasmian rumah Betang disamarkan dengan pesan - pesan: rumah Betang ketinggalan jaman, kotor dan sumber penyakit, dan pesan - negatif lainnya.

Sejak saat itulah masyarakat Dayak dipaksa membangun rumah tinggal sendiri - sendiri. Akibatnya, rumah Betang atau Rumah Panjang hanya tersisa beberapa. Seandainya pun ada rumah Betang pada masa itu, hanya menjadi simbolis dan bangunan museum.

Pembangunan rumah Betang baru gencar lagi setelah jaman Reformasi. Tidak heran sekarang ini di setiap propinsi, Kabupaten dan bahkan kecamatan dibangun banyak rumah Betang. Tapi rumah Betang tersebut tidak lagi berfungsi seperti sediakala, namun hanya sebagi simbol dan tempat pertemuan dan pesta adat.

Sumber gambar: tribun.com
Sumber gambar: tribun.com

Kembali pada pernyataan pak Kiyai Ma'ruf Amin. Dengan pernyataan nya itu, penulis merasa sangat bangga, sebagian luka masa lalu akibat stigma negatif, untuk saat ini terasa disembuhkan. Suatu pengakuan sederhana namun sangat mendalam bagi putra - putri Dayak saat ini.

Apa filosofis luhur di balik rumah Betang?

Dari berbagai sumber dan catatan yang ada, rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya.

Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama.

Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.

Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat.

Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. 

Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain.

Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. 

Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap. 

Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus.

Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu.

Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.

Jadi itulah mengapa sebenarnya betapa warisan kultur budaya dari suku - suku dan kelompok etnis yang ada di Indonesia memang harus tetap dijaga dan dilestarikan. 

Penulis sangat sedih karena akhir - akhir ini ada kelompok tertentu yang secara terbuka bahkan vulgar menista kebijakan dan budaya lokal tersebut. Terutama dari cara dan kultur berpakaian. 

Karena setiap pernak - pernik budaya pastilah berakar pada nilai luhur dari tradisi dan kearifan lokal masyarakat itu. Kita yang berasal dari luar budaya tersebut tidak berhak mengadili, apalagi menghakimi.

Menjadi tugas kita bersama agar kultur, budaya dan kebijakan itu tetap digali dan lestari. Jangan ada lagi stigma - stigma negatif terhadap nilai luhur dari warisan nenek moyang itu.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun