Dalam situasi sekarang, semua bisa diperdebatkan untuk saling menjatuhkan. Kali ini kasus Siti Aisyah yang bebas dari jeratan hukum di Malaysia menjadi polemik.
Adalah menteri Menkumham yang mengatakan bahwa kebebasan Siti Aisyah adalah berkat kerja keras dan loby pemerintah yang dilaksanakan oleh kementerian yang ia gawangi, menteri luar negeri dan kedutaan besar Indonesia di Malaysia.
Setelah pernyataan itu, langsung ada komentar Mahathir yang mengatakan bahwa beliau tidak tahu loby - loby tersebut dan keputusan bebasnya Siti Aisyah adalah murni keputusan hukum.
Pernyataan Mahathir ini langsung menjadi peluru tajam pihak lawan politik Jokowi yang menuduh Jokowi telah berbohong dan asal klaim tentang kebebasan Siti sebagai keberhasilan pemerintah.
Ya begitulah, situasi politik membuat kita tidak melihat esensi dari peristiwa pembebasan Siti Aisyah ini. Kita bukannya bersyukur dan bergembira bahwa satu nyawa rakyat Indonesia sudah lolos dari jeratan hukum yang kemungkinan besar akan dijatuhi hukuman mati. Kita justru terjebak dalam debat kusir yang tidak berarti.
Secara obyektif sebenarnya tidak bisa juga dikatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak punya andil dalam pembebasan ini. Karena perangkat birokrasi dan pejabat pemerintah lah yang telah membantu Siti Aisyah dalam menghadapi proses hukumnya.Â
Untuk proses pembelaan dan pembebasan tersebut  peran loby Kementrian luar negeri, bantuan hukum dan pembela yang dikoordinir oleh Kemenkumham, serta kerjasama Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia pastilah tidak bisa diabaikan di sini. Dan tentu saja semua proses itu diketahui dan dapat dukungan dari Jokowi.
Lalu bagaimana dengan penyangkalan Mahathir terhadap loby yang dikatakan oleh nya tidak dia ketahui, dan pembebasan tersebut adalah murni proses hukum yang berlaku?
Dalam hal ini, kita harus melihat pernyataan PM Malaysia ini sebagai suatu pernyataan diplomatis dan politis. Karena tidak mungkin, Mahathir mengakui bahwa dia mendapat dan menerima loby pembebasan itu.Â
Karena jika itu dia akui, pasti akan merugikan dirinya secara politik. Karena biar bagaimanapun, proses hukum harus independen, tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk pemimpin negara. Kecuali kalau di pemerintahan diktator.
Tentu saja dalam proses hukum Siti Aisyah, seperti halnya di pemerintahan Indonesia, instansi terkait Malaysia pastilah telah bekerja sama dengan instansi partnernya dari Indonesia. Dan sudah tentu proses tersebut dilaporkan dan diketahui Mahathir sebagai Perdana Menteri.