Orang Indonesia sangat pintar bermain kata - kata. Tidak heran kalau gaya komedi plesetan sangat digemari banyak orang. Saya tidak yakin model humor seperti ini juga bisa dinikmati orang lain.
Kata kiasan juga adalah akar sastra kita. Dan nampaknya hal itu masuk dalam kosa kata kampanye saat ini. Kawan dan lawan politik diberikan julukan masing - masing dengan istilah metafora.
Sebut saja beberapa istilah yang pernah muncul, seperti: pentol korek, bumi datar, onta dan yang paling fenomenal adalah cebong dan kampret.
Untuk dua kata terakhir, kita tidak tahu bagaimana hal itu bisa muncul. Terutama kata cebong yang identik dengan pendukung Jokowi. Kalau kampret sih memang sudah jadi istilah baku umpatan dan kata ejekan.
Kemungkinan kata cebong dihubungkan dengan kegemaran Jokowi memelihara katak dan melepasliarkan nya ke kolam. Beberapa kali kegiatan itu diliput media.
Untuk kata kampret sendiri sebenarnya dalam arti politik sekarang ini di mengerti berbeda. Karena kampret atau kelelawar jika hinggap di pohon atau jika istirahat mereka menggelantung atau terbalik, maka diidentikkan kelompok ini punya nalar terbalik atau irasional.
Sebenarnya persaingan dan saling dukung bukan hanya terjadi di Pemilu dan Pilpres kali ini, tapi rasanya suasana panas dan saling ejek dengan istilah dunia binatang baru kali ini terjadi.Â
Dari sisi pendidikan dan kemajuan politik, penulis merasa ini adalah suatu kemunduran. Karena saling serang dari kedua pihak  yang terjadi sangat minim gagasan cemerlang dan adu argumentasi yang obyektif.Â
Kebanyakan dari masing - masing pihak sudah pada sikap saling menutup diri. Tentu dalam suasana ini tidak ada ruang untuk berdiskusi menggunakan alasan obyektif dan nalar yang sehat.
Menarik sekali Kompasiana coba menjembatani ini. Karena komunitas dan orang - orang yang ada di sini pasti juga mempunyai pandangan politik sendiri.Â
Dengan ruang khusus "Seberapa Greget Presiden Pilihanmu" Kompasiana sungguh jeli untuk bisa menyediakan ruang saling sharring pendapat dari pilihan politik berbeda. Dengan menuliskan opini mau tak mau harus mempersiapkan argumentasi yang lebih komprehensif dan teratur. Bukan hanya satu dua kata yang berisi umpatan.
Penulis sendiri suka membaca opini dan artikel dari kedua pihak.Â
Kesimpulannya, masing - masing kelompok memang mencari "orang baik" untuk negeri ini. Indikator dan kriteria orang baik itu memang berbeda. Tapi keinginan baiknya sama.Â
Sebagai anggota komunitas di Kompasiana ini, memang menjadi tanggung jawab kita bersama agar komunitas ini menjadi kelompok orang yang berkualitas.Â
Kita boleh, bahkan kadang - kadang harus berbeda pendapat. menurut saya justru perbedaan itulah yang membuat kita kerasan di Kompasiana ini. Namun sikap obyektif dan kepala dingin harus dijunjung bersama, sehingga kampanye kita untuk mendukung pilihan politik tidak dipenuhi dengan kata - kata dari dunia binatang.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H