Wacana untuk menempatkan personil TNI aktif di posisi-posisi sipil yang dilontarkan Luhut Binsar Panjaitan, menyentak cukup banyak orang.Â
Meski, menurut Luhut mereka hanya akan ditempatkan di institusi dan departemen yang memang membutuhkan keahlian yang mereka miliki, tetap hal itu menjadi sensasi. Apalagi yang mengusulkan, adalah purnawirawan TNI.Â
Kekhawatiran, protes dan kecaman langsung bermunculan. Bahkan sudah ada undangan untuk melakukan gerakan massa guna mengkritisi hal ini.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Menurut catatan yang ada di Wikipedia, Dwifungsi ABRI dalah gagasan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.Â
Dwifungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk kursi di parlemen hanya untuk militer, dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.
Melalui dwifungsi dan "Orde Baru" sebagai kendaraan politik, tentara bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia, dengan cara ini yang mencapai puncaknya pada 1990-an, namun masih tetap kuat setelahnya.Â
Para perwira militer selama kepresidenan Soeharto memegang posisi kunci dalam semua tingkat pemerintahan di Indonesia, termasuk wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan kabinet Soeharto.
Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah  Pemilu 2004 diharapkan selesai pada Pemilu 2009.
Dwifungsi ABRI dan Supremasi Sipil
Mengapa hal ini begitu sensitif? Semua ini tak terlepas dari sejarah bangsa ini yang masih trauma dengan pengalaman masa lalu. Dimana Dwi fungsi ABRI tersebut masih menimbulkan luka yang cukup dalam.Â
Mereka yang saat ini sudah setengah baya, pasti bisa bersaksi betapa dengan adanya Dwifungsi ABRI, kehidupan memang cenderung otoriter.Â
Kedisiplinan kaku yang ada dan memang perlu di institusi militer, jika diterapkan di ranah sipil memang tidak sesuai. Demokrasi modern yang mengandaikan supremasi sipil menjadi terancam. Pemerintah yang dikuasai angkatan bersenjata cenderung menjadi pemerintahan diktator.
Maka dengan adanya gerakan reformasi, salah satu tuntutan yang disampaikan adalah: Kembalikan TNI ke barak. Hal ini tidaklah mudah. Butuh waktu lama untuk mewujudkannya. Terutama peran TNI di dunia Politik. Jadi boleh dikatakan, hilangnya Dwifungsi ABRI adalah anak kandung gerakan reformasi.
Tentu dengan perjuangan yang cukup lama dan berdarah-darah ini banyak orang yang tidak ingin Dwifungsi ABRI itu kembali. Biarlah tentara menjalankan tugas utama mereka untuk menjaga dan mempertahankan keamanan bangsa ini.
Untuk urusan lain, berilah kepercayaan pada masyarakat sipil. Toh sekarang kehidupan demokrasi kita sudah cukup berkembang.Â
Jadi padamkanlah wacana itu. Apapun alasannya, apalagi kalau hanya karena dianggap ada keahlian khusus yang masih diperlukan. Untuk bidang sipil tentu menjadi tanggung jawab sipillah yang akan memenuhinya.Â
Keinginan untuk mengambil alih tugas sipil oleh angkatan bersenjata bisa menjadi pintu masuk kembalinya Dwifungsi ABRI, di mana sebagai bangsa kita sudah sepakat untuk menghindari nya.Â
Kembalinya Dwifungsi ABRI seolah membangkitkan kembali politik Orde Baru yang telah banyak memakan korban.
Memunculkan wacana tersebut dalam kondisi tegangnya politik saat ini bukanlah hal yang bijaksana. Jadi pak Luhut, sebagai warga sipil sekarang ini, coba dengarkan apa yang sesama warga sipil minta.Â
Dan akhirnya, tentu saja diharapkan sikap tegas dan bijak dari Presiden Jokowi, sebagai seorang Presiden yang murni dari kalangan sipil, agar wacana ini tidak menjadi bola liar yang mengancam keutuhan bangsa**MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H