Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bumbu Hoaks nan Gurih

15 Februari 2019   14:51 Diperbarui: 15 Februari 2019   15:23 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://indoprogress.com

Saat ini hoax menjadi gejala yang fenomenal, terlebih dalam kondisi politik di negara ini. Hoax bahkan dijadikan sebagai senjata ampuh untuk merebut kemenangan politik. Hukum dan undang-undang yang sebenarnya sudah cukup tajam, seperti tidak membuat gejala ini mereda, walaupun sudah beberapa orang terpidana karena kasus hoax ini. 

Rupanya sejarah hoax sudah cukup lama, jika ditelusuri maka gejala ini sudah dimulai sebelum  1600-an. Berbeda dengan saat ini, di mana sosial media dan teknologi mass-media sudah bergerak sangat cepat, (dan tentu saja belum ada situs-situs website anti hoax), maka kebanyakan informasi pada era tersebut disebarkan tanpa komentar. Pembaca bebas menentukan validitas informasi berdasarkan pemahaman, kepercayaan/agama, maupun penemuan ilmiah terbaru saat itu.

Namun ada perbedaan yang cukup mendasar dari hoax jaman ini, kebanyakan hoax pada era tersebut terbentuk karena spekulasi. Misalnya saja, saat Benjamin Franklin pada 17 Oktober 1745 via Pennsylvania Gazette melansir tentang batuan China yang bisa digunakan untuk mengobati rabies, kanker, dan penyakit mematikan lain. 

Bagaimanapun, verifikasi informasi itu hanya didasari oleh testimoni personal. Satu pekan kemudian, sebuah surat klarifikasi di Gazette mengklaim bahwa batuan tersebut ternyata terbuat dari tanduk rusa dan tidak memiliki kemampuan medis apapun.

Jadi pada saat itu bukan karena sengaja berbohong tapi lebih berupa 'kesimpulan tergesa-gesa' karena keterbatasan peralatan medis dan teknologi untuk menguji kebenaran hal tersebut.

Selanjutnya fenomena hoax ini terus berkembang, bahkan semakin merajalela. Rupanya kecanggihan dan kemajuan tidak membuat hoax meredup karena justru kemajuan dan teknologi  itulah menjadi infrastruktur hoax menjadi semakin canggih.  

Hoax masa kini lebih menakutkan karena bisa dibuat dengan sangat mudah dan cepat melalui internet dan media online. Pada era digital, jumlah hoax (baik yang disengaja maupun tidak) di bidang politik, sains, ekonomi, sosial, maupun hiburan sudah tidak dapat dihitung. Hoax menjadi lebih terstruktur  dan masif, bahkan untuk sekelompok orang menjadi proyek menguntungkan sebagai mata pencaharian. Untuk saat ini ada produsen, marketing dan konsumen hoax.....

Walau rentang eksistensi hoax sudah cukup panjang namun sebenarnya ada unsur mendasar yang tetap eksis dalam setiap hoax. Unsur dasar yang justru menjadi pondasi hoax adalah unsur "kebenaran". Kebenaran yang dicampur dengan fiksi dan rekaan. 

Kok bisa? Ya, tanpa unsur ini maka hoax tersebut pasti tidak berhasil karena tidak akan ada orang yang mempercayai hoax tersebut. Sebenarnya cerita fiksi juga mempunyai unsur yang sama. 

Cerita, novel dan film yang menarik, suka dibaca dan ditonton biasanya mengandung unsur kebenaran sehingga mereka yang menikmati fiksi tersebut terhanyut dengan jalan cerita yang disajikan. Maka tidak heran, banyak orang yang tergila-gila dan menjadi idola tokoh fiksi dan bintang film tertentu karena mereka menginginkan cerita dan tokoh itu ada dalam dunia nyata. 

Pernah menonton film horor yang tidak membuat takut dan bahkan justru menjadi lucu? Kalau ini terjadi berarti film Horor itu telah gagal karena tidak ada unsur kredibilitasnya. Biasanya kegagalan terjadi pada peran pemain yang tidak pas atau tata rias yang  yang buruk. 

Lalu apa yang membedakan antara hoax dan fiksi jika unsurnya sama?. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah lebih pada niat penciptanya. Untuk fiksi, niatnya memang untuk menciptakan cerita fiksi dengan cantolan kebenaran, entah mengenai lokasi, tokoh yang pernah ada, atau peristiwa yang pernah terjadi. Unsur kebenaran itu sebagai bumbu agar cerita fisksi itu seolah-olah benar sehingga bisa dinikmati. Oleh karenanya biasanya di pembukaan sebuah film atau novel ada peringatan, "jika ada peristiwa atau tokoh yang serupa maka itu hanya kebetulan". 

Sebaliknya hoax justru tujuannya adalah menciptakan kabar bohong, maka sepotong kebenaran dipakai untuk menutupi kebohongan yang mau disampaikan. Unsur kebenaran dalam hal ini dipakai sebagai unsur kredibilitas dari hoax tersebut. Dan tentu saja tidak seperti film atau cerita fiksi yang memperingatkan akan "ketidakbenaran" dari cerita, para pencipta hoax justru memulai dengan, "hal ini sudah diversifikasi kebenarannya". 

Sebagai alat otorisasi kebenaran biasanya para pencipta hoax menggunakan, mencomot dan mencatut otoritas tokoh-tokoh, para ahli atau institusi tertentu seolah-olah cerita hoax itu dari mereka. Juga menggunakan unsur kebenaran dari suatu berita, sejarah, photo, suara,  dokomenter, data-data tertentu yang mereka edit dan olah sehingga seakan-akan hal itu benar. Semakin kredibilitas itu bisa membalut kebohongan yang mereka sampaikan maka hoax itu semakin berhasil. 

Lalu seberapa berbahayakah hoax tersebut? Untuk menjawab ini maka penulis akan bercerita. 

Di sebuah kampung tinggal seorang kakek yang sudah tua dan dihormati oleh masyarakat. Karena rumahnya berdekatan dengan lapangan bermain, maka setiap sore dia selalu terganggu dengan keributan anak-anak yang bermain. Suatu sore sang kakek sudah tidak sabar maka dia menemui anak- anak itu dan berkata," Eh... tahu tidak tadi kakek melihat  ada raksasa yang sedang mandi di sungai permandian kita....". 

Anak-anak yang sedang bermain itu pun seketika berhenti dan berlari ke arah sungai untuk melihat raksasa seperti yang dikatakan oleh kakek tersebut. Mereka berlari sambil berteriak-teriak bahwa kakek ada melihat raksasa sedang mandi di sungai. Mendengar seruan itu maka masyarakat lain pun ikut berbondong-bondong ke sungai untuk melihat raksasa seperti yang dikatakan kakek itu. Akhirnya kakek itupun tinggal seorang sendiri di kampung. 

Mula-mula kakek itu tertawa-tawa karena merasa dia berhasil membohongi anak-anak tersebut. Namun karena seluruh kampung  ikut pergi ke sungai, kakek itupun kemudian mulai berpikir, "Jangan-jangan benar ada raksasa di sungai..". Maka dia pun ikut berlari ke sungai untuk melihat raksasa tersebut....

 Ya, hoax berbahaya tidak hanya pada korban hoax tapi juga si pembuat.... karena terlalu sering menyebarkan hoax maka si pencipta hoax pun bisa terjebak pada delusi yang telah dia ciptakan sendiri. Kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi seolah-olah suatu kebenaran. Hoax mempunyai bumbu yang gurih sehingga orang bisa menjadi ketagihan. ***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun