Lalu apa yang membedakan antara hoax dan fiksi jika unsurnya sama?. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah lebih pada niat penciptanya. Untuk fiksi, niatnya memang untuk menciptakan cerita fiksi dengan cantolan kebenaran, entah mengenai lokasi, tokoh yang pernah ada, atau peristiwa yang pernah terjadi. Unsur kebenaran itu sebagai bumbu agar cerita fisksi itu seolah-olah benar sehingga bisa dinikmati. Oleh karenanya biasanya di pembukaan sebuah film atau novel ada peringatan, "jika ada peristiwa atau tokoh yang serupa maka itu hanya kebetulan".Â
Sebaliknya hoax justru tujuannya adalah menciptakan kabar bohong, maka sepotong kebenaran dipakai untuk menutupi kebohongan yang mau disampaikan. Unsur kebenaran dalam hal ini dipakai sebagai unsur kredibilitas dari hoax tersebut. Dan tentu saja tidak seperti film atau cerita fiksi yang memperingatkan akan "ketidakbenaran" dari cerita, para pencipta hoax justru memulai dengan, "hal ini sudah diversifikasi kebenarannya".Â
Sebagai alat otorisasi kebenaran biasanya para pencipta hoax menggunakan, mencomot dan mencatut otoritas tokoh-tokoh, para ahli atau institusi tertentu seolah-olah cerita hoax itu dari mereka. Juga menggunakan unsur kebenaran dari suatu berita, sejarah, photo, suara, Â dokomenter, data-data tertentu yang mereka edit dan olah sehingga seakan-akan hal itu benar. Semakin kredibilitas itu bisa membalut kebohongan yang mereka sampaikan maka hoax itu semakin berhasil.Â
Lalu seberapa berbahayakah hoax tersebut? Untuk menjawab ini maka penulis akan bercerita.Â
Di sebuah kampung tinggal seorang kakek yang sudah tua dan dihormati oleh masyarakat. Karena rumahnya berdekatan dengan lapangan bermain, maka setiap sore dia selalu terganggu dengan keributan anak-anak yang bermain. Suatu sore sang kakek sudah tidak sabar maka dia menemui anak- anak itu dan berkata," Eh... tahu tidak tadi kakek melihat  ada raksasa yang sedang mandi di sungai permandian kita....".Â
Anak-anak yang sedang bermain itu pun seketika berhenti dan berlari ke arah sungai untuk melihat raksasa seperti yang dikatakan oleh kakek tersebut. Mereka berlari sambil berteriak-teriak bahwa kakek ada melihat raksasa sedang mandi di sungai. Mendengar seruan itu maka masyarakat lain pun ikut berbondong-bondong ke sungai untuk melihat raksasa seperti yang dikatakan kakek itu. Akhirnya kakek itupun tinggal seorang sendiri di kampung.Â
Mula-mula kakek itu tertawa-tawa karena merasa dia berhasil membohongi anak-anak tersebut. Namun karena seluruh kampung  ikut pergi ke sungai, kakek itupun kemudian mulai berpikir, "Jangan-jangan benar ada raksasa di sungai..". Maka dia pun ikut berlari ke sungai untuk melihat raksasa tersebut....
 Ya, hoax berbahaya tidak hanya pada korban hoax tapi juga si pembuat.... karena terlalu sering menyebarkan hoax maka si pencipta hoax pun bisa terjebak pada delusi yang telah dia ciptakan sendiri. Kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi seolah-olah suatu kebenaran. Hoax mempunyai bumbu yang gurih sehingga orang bisa menjadi ketagihan. ***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI