Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Lokomotif Pemerintahan Jokowi Mulai Bergerak?

20 Mei 2015   13:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya hukum kelembaman juga terjadi dalam pemerintahan. Perlambatan atau percepatan terjadi seiring dengan adanya hambatan atau tidak. Yang pasti perlambatan akan terjadi jika ada pergantian rezim pemerintahan. Terutama jika tidak ada rencana jangka panjang dan sistem pemerintahan yang sudah kuat dan mapan.

Untuk Indonesia, penerapan hukum ini jelas terasa. Pergantian antarrezim pasti akan menyebabkan perlambatan kinerja dari rezim yang lama. Tidak terkecuali ketika rezim SBY digantikan oleh Jokowi. Kondisi ekonomi, politik dan sosial yang memang tidak laju menjadi semakin melambat pada saat peralihan pemerintahan tersebut.

Sebenarnya ketika awal pemerintahan Jokowi banyak orang berharap pemerintah baru ini langsung bisa tancap gas dan melakukan percepatan di segala bidang. Dukungan yang cukup kuat dari para pemilihnya dan janji yang telah dilontarkan oleh Jokowi menyebabkan harapan ini semakin membuncah. Seharusnya antusias dan dukungan ini bisa dijadikan sumber energi yang menyebabkan lokomotif pemerintahan baru ini semakin melaju.

Namun apa lacur. Harapan tersebut rupanya tidak sepenuhnya terlaksana. Pilihan-pilihan politik dan ekonomi  yang di ambil Jokowi di awal pemerintahannya menyebabkan proses pelambatan terjadi.

Batu penghambat pertama terjadi ketika Jokowi memilih para mentri sebagai pembantu terdekatnya. Pemerintah yang professional dan ramping seperti yang dijanjikan tidak dapat terlaksana. Kepentingan dan realita politik memaksa Jokowi berkompromi dengan memberi jatah menteri kepada partai-partai pendukungnya. Para professional hanya mengisi beberapa kementerian yang dianggap Jokowi cukup penting dan strategis.

Pilihan seperti ini memang terbukti sedikit meredam nafsu berkuasa para partai pendukungnya namun harga yang harus dibayar oleh Jokowi juga sangat jelas. “Kabinet Kerja” yang diidamkan tidak dapat sepenuhnya terlaksana.

Agak sulit memang para tokoh partai yang selama ini tidak berorientasi melayani dan bekerja keras untuk rakyat dipaksa untuk mengubah haluan dan paradigma supaya menjadi kreatif dalam melayani dan bekerja untuk rakyat. Justru  yang nampak di awal kerja kabinet ini, banyak menteri yang jadi latah “blusukan” dan mengambil kebijakan “sok populer” yang kemudian harus dikoreksi dan tidak tentu juntrungannya. Penghematan gaya menteri PAN dengan melarang rapat di hotel adalah contoh kebijakan seperti ini. Bahkan ada beberapa menteri yang justru menambah beban dengan pernyataan dan keputusan kontroversial mereka, seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan Menteri Hukum dan HAM.

Di lain pihak, terbukti juga bahwa para menteri professional lebih mampu membuktikan kreativitas dan inovasi mereka. Menteri Kelautan, Pendidikan, Perhubungan serta ESDM adalah contoh dari kinerja para professional ini.

Hal ini ditambah lagi dengan keributan politik antar 2 fraksi di DPR sebagai akibat persaingan Pilpres menjadi batu-batu kerikil yang menghalangi proses percepatan lokomotif ini. Blok-blokan dan keinginan mengganggu pemerintahan menjadi makanan harian kehidupan politik selama berbulan-bulan. Kedua kubu ini seolah tidak peduli dampak yang harus dirasakan bangsa ini akibat dari sikap kekanak-kanakan mereka dalam berebut kue kekuasaan dan harga diri semu.

Kebijakan Jokowi yang secara drastis menghilangkan subsidi premium dan secara terbatas menyubsidi solar, yang walau secara akal sehat kebijakan ini memang harus diambil, turut memperlambat gerak ekonomi sekurangnya dalam jangka pendek.

Dalam kancah ini ada satu hal yang sama sekali di luar perkiraan banyak orang yakni: partai pendukung Jokowi justru mengambil sikap berseberangan dan menggunting dalam lipatan. Partai yang cukup lama jadi oposisi ini nampaknya sudah lupa bagaimana harus menjadi partai pemerintah. Mereka justru sering melawan atau bahkan menjerumuskan Jokowi dalam kegamangan. Kepentingan bangsa yang besar ini coba dikerdilkan mereka menjadi kepentingan golongan dan partai. Seolah mereka tidak rela jika Jokowi menjadi pemimpin bangsa dengan menyudutkan Jokowi untuk harus patuh sebagai “petugas partai”.

Persoalan yang menghantam KPK dan Polri yang menyebabkan banyak orang jadi ragu akan komitmen Jokowi dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi adalah akibat sangat jelas dari campur tangan partai pendukung yang mengganggu pemerintahan Jokowi.

Kelembaman yang memperlambat kinerja pemerintahan ini menjadi angka objektif yang menunjukkan turunnya popularitas Jokowi dan indeks kemajuan ekonomi yang turun dari harapan semula.

Setelah enam bulan pemerintahan ini berjalan, terasa juga bahwa Jokowi coba mendorong kelembaman supaya ada gerakan percepatan. Blusukannya ke Indonesia Timur dengan meresmikan beberapa proyek infrastruktur strategis nampaknya menjadi usaha Jokowi untuk mempercepat jalan pembangunan.

Pemberantasan mafia migas juga mulai menampakkan hasil dengan penghematan karena telah menutup Petral serta tekad untuk menuntaskan dengan penegakan hukum.

Usaha Menteri Susi dengan berlaku tegas terhadap para perompak ikan juga mulai menyumbangkan kemajuan income dari sektor perikanan sebagai salah satu tonggak “pembangunan maritim” yang dicanangkan Jokowi.

Pilihan strategi politik Jokowi yang tidak secara frontal melawan nampaknya juga mulai menampakkan hasil. Kubu-kubuan kedua fraksi nampaknya sudah mulai lebur, bahkan ada kecenderungan partai oposisi sekarang lebih dekat dengan Jokowi.

Usaha untuk lepas dari “Petugas Partai”, dengan secara simbolis pindah kantor ke Istana Bogor dan “melawan” dengan tidak mengangkat BG sebagai kapolri menunjukkan Jokowi semakian sadar akan “kuasa presidensial” yang dia miliki.

Keinginan reshuffle kabinet yang perlahan mulai didengungkan sepertinya jadi syarat Jokowi juga mulai sadar bahwa “harga” yang harus dia bayar dengan menempatkan para menteri sebagai pembantunya yang kurang professional adalah beban yang harus dihentikan.

Konsolidasi kekuatan real dukungan pemerintahannya dari para relawan juga mulai digarap oleh Jokowi dengan mengadakan “pekan para relawan” yang baru-baru ini dilaksanakan.

Pil pahit kenaikan BBM nampaknya juga menjadi peluang yang dapat diraih dengan tersedianya ruang fiskal yang lebih luas untuk modal pembangunan.

Apakah semua indikasi di atas bisa dijadikan sebagai indikator  bahwa lokomotif pemerintahan Jokowi mulai bergerak melakukan percepatannya?

Tentu harapan kita demikian, namun, hambatan-hambatan yang berpontensi menjadi batu sandungan yang mengakibatkan tanda-tada percepatan ini bisa kembali terhambat juga sudah tampak di depan mata. Beberapa hambatan yang dapat dideteksi adalah: Pertikaian Partai dalam proses Pilkada, krusialnya dalam proses pemilihan pimpinan KPK serta kekhawatiran bahwa reshuffle kabinet yang justru kembali tidak melahirkan para menteri yang professional.

Semua tentu mengharapkan pemerintahan ini sudah mampu meninggalkan titik kelembamannya dan memulai gerakan percepatan. Moga saja segala hambatan yang pasti masih ada di hadapan tidak kembali memperlambat pemerintahan Jokowi kembali…..****MG

Sumber bacaan:

-http://finance.detik.com/read/2015/05/10/095149/2910903/4/kunjungan-ke-papua-ini-agenda-jokowi-di-manokwari

-http://nasional.kompas.com/read/2015/04/28/08425511/Jokowi.Sadar.Popularitasnya.Turun

-http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/05/05/135327526/Pertumbuhan.Ekonomi.Kuartal.I-2015.Melambat.Ini.Penyebabnya

-http://www.mongabay.co.id/2015/05/19/hasil-moratorium-kapal-eks-asing-perikanan-indonesia-mulai-menggeliat/

-http://pekanbaru.tribunnews.com/2015/05/16/satukan-kekuatan-relawan-jokowi-gelar-jambore-nasional

-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun