Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Awas Masokisme Politik dan Hukum Merajalela!

18 Maret 2015   11:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_356100" align="aligncenter" width="446" caption="sakit jiwa/http://kalbar-online.com"][/caption]

Secara sederhana, masokisme berarti orang yang menikmati kesakitan sebagai suatu kenikmatan. Orang yang mengalami ini tergolong berpenyakit jiwa.

Mengapa saya menghubungkan penyakit jiwa ini dengan situasi hukum dan politik di negeri ini? Ya, saya melihat ada gejala yang sama terjadi pada orang-orang yang berperan dalam bidang hukum dan politik negeri ini. Ada kesan oknum-oknum politik dan hukum ini sangat menikmati cacian dan hujatan dari masyarakat menyangkut kebijakan dan tindakan mereka yang bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak. Bahkan seolah-olah mereka berusaha untuk semakin dibenci dengan semakin bertingkah laku dan membuat kebijakan yang kontroversial dan mempertontonkan hal itu secara vulgar.

Ini memang penyakit jiwa. Penyakit jiwa yang sangat berbahaya karena sering menyangkut keadilan dan hak asasi serta kehidupan orang banyak. Para oknum ini sering bermain dengan nasib dan hidup orang lain, demi kepuasan masokisme mereka. Mereka tahu, samakin kontroversi, semakin melawan akal sehat dan keadilan maka mereka akan semakin dicaci dan kenikmatan masokisme mereka semakin terpuaskan.

Dalam kondisi di Indonesia nampaknya penyakit jiwa ini cepat berkembang, bahkan semakin merajalela. Ada beberapa sebab yang membuat para petualang dan penikmat masokisme ini bertumbug subur.

Pertama: peran media. Kita melihat, media gossip di negeri ini berkembang dengan pesat. Media-media ini sengaja mencari-cari berita dan tokoh kontroversial untuk mengangkat rating dan kepoluleran mereka. Untuk media jenis ini, para petualang masokisme ini adalah langganan mereka bahkan sering juga dipancing untuk mengeluarkan pernyataan atau perbuatan yang kontroversial dan antagonis. Bagai sinetron, para tokoh politik dan hukum inipun jadi bintang utama laporan-laporan mereka.

Kedua: media sosial. Media sosial yang semakin beragam juga adalah pemicu munculnya tokoh-tokoh pengidap penyankit ini. Setiap komentar dan perbuatan para mosokisme ini dengan cepat ditanggapi oleh para netizen dengan komentar mereka. Sebenarnya tujuan dari para netizen ini mengomentari perkataan dan tindakan yang kontroversial ini adalah supaya para pelaku menjadi jera. Namun rupanya sebaliknya yang terjadi. Para masokisme ini justru sangat menikmati cacian, ejekan dan olokan dari para netizen. Terkadang mereka pura-pura marah dan melakukan tuntutan hukum, tapi hal itu justru menambah semakin banyak kritikan, ejekan dan hujatan yang semakin dinimkati para penikmat “sakit” ejekan dan caciab ini.

Ketiga: “kekebalan” hukum. Para tokoh politik dan hukum yang mengidap penyakit masokisme ini umumnya bukanlah orang biasa. Mereka biasanya mempunyai jabatan dan wewenang. Mereka juga dalam arti tertentu kebal hukum. Dengan jabatan dan wewenang yang mereka miliki, mereka sengaja manfaatkan untuk melakukan tindakan dan perkataan yang kontroversial. Bahkan mereka sering berlindung pada wewenang dan jabatan tersebut. Atau, sering juga mereka memegang kartu “AS” supaya orang yang berada di atas mereka tidak berani bertindak. Jadi, walau perbuatan dan perkataan mereka kontroversial bahkan melawan hokum, mereka tetap merasa aman krena tidak bisa tersentuh dan diintervensi.

Untuk suatu negara tentu kehadiran para tokoh politik dan hukum yang berpenyakit masokisme ini sangat berbahaya. Mereka bisa menggangu bahkan mengancam tatanan sehat yang ada. Semakin mereka dibiarkan dan tidak ada yang secara tegas menindak mereka maka mereka akan semakin merajalela.

Tentu peran media dan masyarakat juga sangat penting untuk tidak memberi panggung pada para masokisme ini. Mereka sebaiknya jangan dijadikan “artis” atau “tokoh utama antagonis”.

Lalu apakah itu berarti kita diam jika melihat ketidakadilan dan perbuatan yang bertentangan dengan akal sehat terjadi? Tidak juga. Kita tetap perlu bersuara dan menyatakan pendapat kita untuk mengkritik mereka, namun kita perlu lebih selektif untuk menilai, tokoh-tokoh mana yang mengidap penyakit masokisme, yang menikmati caci maki, dan tokoh-tokoh mana yang memang bisa diingatkan dengan “kritik” dan “hukuman sosial”.

Jika kita tidak bisa memilah ini maka, para pengidap penyakit jiwa masokisme hukum dan politik di negeri ini akan semakin merajalela. Untuk para masokisme ini, diacuhkan dan tidak dikomentari akan lebih membuat mereka sadar bahwa tindakan dan komentar mereka tidak berguna dan tidak bernilai untuk masyarakat.

Saya yakin, begitu selesai membaca opini ini kita telah punya daftar siapa saja yang tergolong mengidap penyakit jiwa masokisme politik dan hukum ini. Mari cuekin mereka!***MG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun