Sementara itu, dari China, Zhao Tong, seorang peneliti senior di Carnegie-Tsinghua Center, menyatakan bahwa Beijing memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas Semenanjung Korea. “China menolak ketegangan lebih lanjut dan menekankan pentingnya dialog diplomatik. Namun, Beijing tidak akan sepenuhnya memutus dukungannya terhadap Korut karena ketakutan akan runtuhnya rezim Kim dan potensi pengungsi yang membanjiri perbatasannya.”
Dari Korea Selatan, Chung Eui-yong, mantan Menteri Luar Negeri Korsel, mengatakan dalam wawancara dengan Yonhap News bahwa Korsel “terus berkomitmen pada denuklirisasi Semenanjung Korea melalui pendekatan bertahap, tetapi harus diimbangi dengan peningkatan kapabilitas pertahanan negara.”
Perlombaan Senjata dan Diplomasi yang Gagal
Ketegangan yang terus meningkat di Semenanjung Korea mencerminkan kegagalan diplomasi internasional dalam mengatasi masalah perlombaan senjata. Setiap kali Korea Utara meluncurkan rudal, Korea Selatan dan AS meningkatkan latihan militer gabungan dan memperkuat sistem persenjataan mereka. Latihan-latihan militer ini dianggap oleh Korut sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka, sehingga menciptakan lingkaran setan di mana provokasi dari kedua belah pihak terus berlanjut.
Di forum PBB, upaya memberlakukan sanksi terhadap Korea Utara kerap terhambat oleh veto dari Rusia dan China. Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan bahwa kedua negara besar ini melihat Korea Utara sebagai penyeimbang strategis terhadap pengaruh AS di Asia-Pasifik. Sementara itu, United Nations Panel of Experts memperkirakan bahwa perdagangan senjata ilegal Korea Utara masih menjadi sumber pendapatan utama rezim Pyongyang, yang semakin memperumit upaya untuk mengekang pengembangan program nuklirnya.
Upaya ASEAN dan Indonesia dalam Meredakan Ketegangan
Dalam beberapa kesempatan, ASEAN dan Indonesia telah berupaya untuk turut berperan dalam meredakan ketegangan di Semenanjung Korea. Misalnya, pada KTT ASEAN tahun 2018, ASEAN menyerukan denuklirisasi secara damai dan dialog antara Korea Utara dengan komunitas internasional. Selain itu, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi aktif mendukung upaya perdamaian, dan pada tahun 2019, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan informal antara pejabat Korea Utara dan AS di Bali. Pertemuan ini membantu menciptakan jalur komunikasi yang lebih terbuka antara kedua negara.
Kesimpulan: Mencari Jalan Keluar dari Krisis
Krisis di Semenanjung Korea jelas bukan hanya masalah regional, tetapi juga ancaman global. Eskalasi uji coba rudal oleh Korea Utara, diperburuk oleh respons militer dari Korsel, AS, dan Jepang, menempatkan kawasan ini dalam situasi yang sangat berbahaya. Pengembangan kemampuan rudal hipersonik dan teknologi berbahan bakar padat oleh Pyongyang menunjukkan bahwa Korea Utara tidak berniat menghentikan ambisi nuklirnya.
Solusi atas krisis ini harus mencakup pendekatan diplomatik yang lebih intensif. Scott Snyder, pakar kebijakan Korea di Council on Foreign Relations, menyatakan bahwa membangun kembali kepercayaan dan menciptakan mekanisme dialog yang stabil antara Korea Utara dan AS adalah langkah penting untuk mengurangi ketegangan. Dialog multilateral yang melibatkan semua pemain besar, termasuk China dan Rusia, harus segera dihidupkan kembali untuk mencegah krisis ini berkembang menjadi konflik berskala global.
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian, bisa memainkan peran penting dalam mengadvokasi solusi diplomatik melalui ASEAN dan komunitas internasional. Dunia tidak boleh menutup mata terhadap ancaman nyata dari perlombaan senjata di Semenanjung Korea. Jika ketegangan ini tidak segera diredam, kita mungkin menghadapi ancaman perang nuklir yang dampaknya akan mengguncang perdamaian dunia secara keseluruhan.