Mohon tunggu...
Marissa Liviani
Marissa Liviani Mohon Tunggu... -

Menyukai dunia kepenulisan dan dunia seni serta desain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Kebaikan di Balik Peristiwa Dijambret Orang

2 Januari 2016   20:41 Diperbarui: 2 Januari 2016   20:41 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah terbayangkan dalam benak saya bahwa saya akan mengalami yang namanya kejambretan. Dan sekarang, hal tersebut benar-benar saya rasakan. Kejadian ini terjadi hari ini, 2 Januari 2016, sekitar jam 14.20 WIB di Jalan Tunjungan, depan Optik Seis. Saat itu saya baru saja keluar dari dalam optik tersebut. Baru saja ingin naik ke atas becak yang saya tumpangi, tiba-tiba tas saya dijambret oleh dua orang lelaki bersepeda motor. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Sesaat saya tak sadar. Beberapa detik kemudian kesadaran menguasai pikiran saya dan saya pun berlari sambil beteriak, “Copett! Copetttt!”

 

Bapak tukang becak pun membantu saya untuk mengejar penjambret tersebut. Namun, semuanya nihil. Pengejaran tak membuahkan hasil. Usaha saya melihat serta menghafalkan plat nomor kendaraannya pun gagal, mereka tancap gas dengan sangat cepat. Saya pun langsung lemas. Lalu, saya mencoba untuk melaporkan ke pos polisi di depan Siola, barangkali bisa ditangani atau mereka bisa melacak melalui cctv. Sayangnya, tak ada cctv yang berada di tempat kejadian. Pak polisi pun menyarankan untuk melaporkannya ke Polsek Genteng. Saya pun menuju ke sana. Dengan perasaan yang masih panik saya pun menceritakan kejadiannya kepada polisi di sana. Namun, sang polisi berkata susah untuk melacaknya apabila saya tak hafal berapa nomor plat sepeda motor si penjambret.

 

Saat itu, harapan untuk menemukan tas saya pun musnah. Padahal, banyak barang berharga di dalam sana, terutama dompet dan handphone. Penyesalan terbesar saya adalah handphone saya yang dijambret, padahal, banyak data-data penting serta catatan ide-ide saya yang akan saya gunakan untuk mendukung pekerjaan saya untuk menulis dan mendesain. Pak polisi hanya bisa membantu untuk membuatkan surat keterangan tanda lapor kehilangan agar saya bisa membuat KTP, ATM, dan SIM yang baru. Saya pun pasrah.

 

Masih ada perasaan tidak rela. Pikiran saya mulai menjalar ke mana-mana. Saya mencoba untuk menghibur diri. Saya mulai berimajinasi, berharap sang jambret kembali melakukan aksinya pada korban yang lain, akhirnya mereka tertangkap oleh korban yang lebih pintar dari saya atau jago bela diri, mereka pun ditangkap oleh polisi, lalu, tas saya beserta isinya pun kembali ke tangan saya. Namun, semua itu hanyalah harapan akan keajaiban yang potensi terjadinya hanya 0,0000001%. Semakin memikirkan hal tersebut hanya akan membuat saya tenggelam dalam penyesalan karena keajaiban tersebut tak terjadi.

 

Saya pun pulang ke rumah. Menceritakan apa yang saya alami pada kedua orang tua saya. Awalnya mereka kaget, namun, mereka berusaha menanggapinya dengan tenang. Dengan tanggap mereka langsung membantu saya yang saat itu sudah lemas untuk mengurus pemblokiran kartu ATM dan nomor handphone saya agar tak disalahgunakan oleh si penjambret. Adik saya pun membantu menenangkan dengan mengatakan bahwa id line, bbm, instagram, dan sebagainya masih bisa dikembalikan, walaupun data dan catatan penting saya tak dapat diselamatkan.

 

Dari sini saya belajar banyak hal, saya menyadari bahwa orang tua dan saudara saya sangat peduli pada saya, mereka bahkan tak marah, mereka justru menghibur saya dan menasehati saya untuk merelakan hal tersebut. Saya juga belajar untuk lebih berhati-hati saat berada di tempat-tempat rawan jambret. 

 

Sekarang saya sudah mengikhlaskan hal tersebut. Saya hanya bisa berharap uang hasil curian yang mereka dapatkan tak disalahgunakan untuk hal-hal negatif seperti narkoba, miras, judi, untuk menyakiti orang lain, dan sejenisnya. Saya berharap mereka memanfaatkan uang hasil keringat saya dan orang tua saya tersebut untuk hal-hal positif yang membuat ada seorang, dua, atau lebih yang merasa bahagia. Saya tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan, karena agama saya pun mengajarkan untuk mengikhlaskan kemalangan yang telah terjadi, karena itu artinya kita sedang membayar karma. Dan semakin cepat karma kita habis, semakin dekat pula kita menuju pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Jika kita tak mengikhlaskan karma buruk kita yang sedang berbuah tersebut, karma itu tak akan hilang. Mungkin karena saya lahir dan besar dalam keluarga Buddhis yang belajar apa itu karma dan apa itu kebaikan, oleh karena itu, saya bisa merelakan segala kemalangan yang terjadi dan melihat kemalangan tersebut sebagai sebuah kebaikan bagi kehidupan saya ke depannya.

 

Saat ini saya berada di depan laptop, mencoba untuk menenangkan diri dengan menuliskan kisah kejadian ini ke dalam sebuah artikel, karena menulis adalah salah satu cara saya menenangkan diri dan pikiran saya. Selain itu, saya menuliskan ini karena tak ingin ada orang lain lagi yang merasakan hal serupa dengan apa yang saya alami. Saya ingin kalian lebih berhati-hati untuk hidup di dunia yang masih penuh dengan dosa dan tindak kejahatan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun