aphelion, posisi bumi dalam orbitnya yang paling jauh dari matahari. Namun, aphelion bukan satu-satunya penyebab penurunan suhu yang dirasakan di Jawa.Β
Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat di Pulau Jawa merasakan penurunan suhu yang signifikan, menimbulkan pertanyaan mengenai penyebabnya. Fenomena ini tidak biasa, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Salah satu faktor yang berkontribusi adalahMari kita telaah lebih dalam.Aphelion adalah titik dalam orbit elips bumi di mana jaraknya paling jauh dari matahari. Fenomena ini biasanya terjadi setiap tahun sekitar awal Juli. Ketika berada di aphelion, bumi berada sekitar 152 juta kilometer dari matahari, lebih jauh dibandingkan jarak rata-rata bumi-matahari yang sekitar 149,6 juta kilometer.
Secara teoretis, posisi bumi yang lebih jauh dari matahari dapat mengurangi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi. Namun, perbedaan ini sangat kecil, hanya sekitar 3%, dan tidak cukup untuk menjelaskan penurunan suhu yang signifikan.
Faktor utama yang menyebabkan penurunan suhu di Jawa adalah angin muson timur yang berasal dari Australia. Pada bulan Juni hingga Agustus, belahan bumi selatan mengalami musim dingin. Tekanan udara tinggi di Australia mendorong angin dingin dan kering ke arah Indonesia. Ketika angin ini mencapai Jawa, ia membawa udara dingin dari Australia, sehingga suhu di beberapa wilayah Jawa menurun drastis.
La Nia adalah fenomena iklim yang ditandai oleh penurunan suhu permukaan laut di bagian tengah dan timur Samudra Pasifik. Fenomena ini meningkatkan angin pasat yang memperkuat angin muson timur. Akibatnya, udara dingin dari Australia semakin intensif mencapai Indonesia. La Nia juga mempengaruhi pola curah hujan, tetapi dalam konteks ini, pengaruh utamanya adalah peningkatan intensitas angin dingin yang mencapai Jawa.
Pada musim dingin di belahan bumi selatan, tekanan udara tinggi mendominasi wilayah Australia. Tekanan udara tinggi ini menyebabkan pergerakan massa udara dingin ke arah utara, termasuk ke Indonesia. Pola ini memperkuat angin muson timur dan membawa udara dingin ke Pulau Jawa.
Ketinggian dan topografi wilayah juga berperan penting. Daerah dataran tinggi di Jawa, seperti Bandung dan Malang, cenderung merasakan penurunan suhu yang lebih signifikan dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Ini karena udara dingin dari angin muson lebih efektif menurunkan suhu di daerah yang lebih tinggi.
Selama musim kemarau, langit cenderung lebih cerah dengan jumlah awan yang lebih sedikit. Hal ini memungkinkan radiasi panas dari permukaan bumi lebih banyak terlepas ke atmosfer pada malam hari, sehingga suhu udara menjadi lebih dingin. Kelembapan yang rendah juga mempercepat proses pendinginan ini, karena udara kering lebih mudah mendingin dibandingkan udara yang lembap.
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu di beberapa kota di Jawa mengalami penurunan signifikan selama periode ini. Misalnya, suhu malam di Bandung bisa mencapai 16C, sementara di daerah dataran rendah seperti Jakarta suhu bisa turun hingga sekitar 23C pada malam hari. Data ini konsisten dengan pola angin muson timur dan kondisi musim dingin di Australia.
Penurunan suhu yang drastis di Jawa dalam beberapa hari terakhir bukan semata-mata disebabkan oleh aphelion. Meskipun aphelion berkontribusi kecil dalam mengurangi radiasi matahari yang mencapai bumi, faktor utama adalah angin muson timur yang membawa udara dingin dari Australia. Fenomena La Nia dan tekanan udara tinggi di Australia juga memperkuat angin dingin ini. Kondisi geografis dan rendahnya kelembapan turut mendukung penurunan suhu yang signifikan.
Fenomena ini menunjukkan kompleksitas interaksi berbagai faktor meteorologis yang mempengaruhi cuaca di Indonesia. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat lebih siap menghadapi perubahan cuaca ekstrem di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H