Mohon tunggu...
M Aris Munandar
M Aris Munandar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Dosen

Ubi Societas Ibi Ius (Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri Apa?

10 Juni 2021   20:35 Diperbarui: 11 Juni 2021   12:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: 

M. Aris Munandar

Tulisan ini dibuat saat saya sedang tidak tahu harus menulis apa dan kepada siapa ditujukan. Melihat kenyataan bahwa kita hidup di negeri yang penuh bedebah. Negeri yang tidak memberi petunjuk tentang definisi kebenaran. Negeri yang rupanya penuh leluhur dan kultur, namun isinya sangat jauh dari kata makmur.

Negeri yang sangat gamblang menyatakan keadilan, tapi minim eksekusi. Dengan bingkai demokrasi, tapi intimidasi selalu menyertai. Mau berkata, tapi mulut tak bisa apa-apa. Senjata menganga, gas air mata siap mengundang nestapa. Lalu ke mana harus bersuara? Tentunya negeri itu masih menjadi tanda tanya.

Kalau ada yang bisa menyatakan kebenaran, siap-siap untuk dihilangkan. Hilang dari permukaan. Memasuki hotel prodeo yang penuh gelap dan caci maki. Satu kata terucap, beribu penjilat memaksa untuk menghilang. Segala cara dilakukan, tak sedikit yang dengan "hilang malu" memojokkan di dunia yang maya.

Negeri yang tak bertuan. Karena hanya diisi oleh segumpal kebodohan. Merasa pintar, banyak. Tapi hanya sedikit yang berhasil mengelabui kebenaran. Bahkan kini berusaha menghilangkan harapan proletar dengan memporandakkan prisai akhir dari kebenaran.

Layaknya permainan. Mungkin inilah akhirnya. Meskipun akhir itu tiada. Permainan yang dimainkan oleh pemain yang tak pantas bermain.

Negeri itu pun kini seakan tenggelam oleh genggaman Sang Rakus. Jujur saja, memang rakus. Tapi siapa yang berani mencacinya, sedang kerakusannya itulah yang membuatnya bisa bermain dalam lingkaran kegelepan.

Sedikit demi sedikit, terlihat jelas dengan telanjang mata. Ada yang tidak beres di atas sana. Namun tak ada yang mampu memeriksanya. Mau mencoba? Jangan mencoba. Karena suaramu tak akan pernah terdengar sedikit pun saat kau teriak. Entah teriak minta tolong ataukah teriak kebenaran.

Memang menyebalkan melihat para cukong menikmati hiruk pikuk penindasan yang nyata. Mengelak adalah keahlian terbaik yang mereka rawat dan kembangkan. Mengikuti perkembangan zaman. Teknologi dijadikan tameng dan teman terbaik membrangus suara rakyat yang kian hari kecil terdengar.

Layaknya menonton bioskop. Dalam kegelapan penuh mereka tertawa menikmati pertunjukan reklamasi dan penggusuran. Dari ujung Timur hingga ujung Barat. Hanya ungkapan "Tolong" marjinal teriakkan. Seakan meminta melepas diri dari kekangan kekuasaan yang tak beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun