Walaupun impian semakin tinggi. Cita-cita semakin terkonsep. Namun kenyataan selalu berbalik arah. Meninggalkan luka yang semakin dalam. Bahkan tak sanggup untuk didefinisikan.
Ada seorang pemimpi pernah berkata: "Kemerdekaan rakyat baru tercapai bila politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia....". Mungkin ada yang kenal Tan Malaka. Itulah dia. Entah politik mana yang ia maksud. Jika politik yang ia impikan berada di tangan rakyat adalah berhasilnya aspirasi diterima dan dilaksanakan oleh mereka yang duduk di meja kekuasaan. Tentu hal itu belumlah tercapai.Â
Maka masih belum merdekakah mereka? Ataukah terjajah secara abstrak? Ataukah semi merdeka? Lantas siapa yang menjadi lawan dan kawan?
Pertanyaan macam itu hanya guyonan yang tak berarti. Persoalannya bukan pada merdeka atau tidak. Tapi sejahtera dan makmurkah mereka? Kalau makmur, sudahkah masyarakat menikmati akses keadilan?Â
Hem... berbicara keadilan nampaknya tidak menarik. Sebab, keadilan selalu menjadi kebenaran yang subjektif. Dan akan berlari dari hulu ke hilir mereka capek dan lelah menuntut. Karena putusan tak kunjung datang. Keputusan kapan mereka akan berhenti menikmati penggusuran. Reklamasi berkedok rumah ibadah. Undang-undang berkedok keadilan.Â
Sampai di sini, masih belum ada titik terang, di manakah negeri yang adil dan makmur itu.Â
Jika merdeka adalah pilihan, lantas apakah terjajah adalah kewajiban? Atau sebaliknya?
Baik terjajah sebagai pilihan ataupun sebagai kewajiban, kedua-duanya tak menguntungkan sedikitpun bagi mereka. Karena setiap penjajahan adalah kejahatan. Jika kejahatan terus dibiarkan, sampai kapan mereka akan merasakan pahitnya kehidupan bernegara di negeri para bedebah itu?
Ingin rasanya mencaci maki para bedebah itu. Tapi ketakutan yang kian muncul adalah hilangnya kemerdekaan secara aspiratif. Bukan secara fisik. Ketika kemerdekaan aspiratif dibungkam, maka semua yang ada tinggallah permainan para bedebah yang tak peduli terhadap pencari keadilan.
Lagi dan lagi soal keadilan. Ada satu keadilan yang hari ini terasa tak pernah dicapai sedikitpun. Adalah keadilan ekologis yang berkaitan dengan ekosistem kehidupan manusia. Banyak pohon kehidupan (kalpataru) habis dimakan oleh makhluk rakus bernama manusia. Kerakusannya menyebabkan kerusakan lingkungan. Taruhlah mereka yang hendak menjadi penikmat kekuasaan. Memaku pohon dan menempel wajah kusamnya di sana.Â
Kalau sudah seperti itu, siapa yang akan rugi? Alam tentunya. Tapi alam tak berdaya. Upaya pun tak ada. Karena alam hanya seperti ladang kenikmatan yang bisa dinikmati sesuai keinginan hingga klimaks.Â