Mohon tunggu...
Mariska Lubis
Mariska Lubis Mohon Tunggu... -

Baru saja menyelesaikan buku "Wahai Pemimpin Bangsa!! Belajar Dari Seks, Dong!!!" yang diterbitkan oleh Grasindo (Gramedia Group). Twitter: http://twitter.com/MariskaLbs dan http://twitter.com/art140k juga @the360love bersama Durex blog lainnya: http://bilikml.wordpress.com dan mariskalubis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Keseksian Romantisme Pemikiran Kritis

13 Februari 2011   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 1859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_90420" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Manusia banyak yang mengkritik tetapi apakah benar mereka memang memiliki pemikiran yang kritis?! Manusia banyak yang berteriak, bersuara lantang serta maju dengan gagah berani bak seorang pahlawan yang hebat tetapi apakah benar mereka seorang pemberani dan melakukan itu benar untuk semua?! Manusia bisa terus beradu mulut dan berargumentasi dengan sedemikian serunya, namun apakah benar itu semua memiliki arti dan manfaat?! Pemikiran kritis adalah buah dari romantisme kehidupan manusia yang sangat seksi dan menggairahkan. Tidak mudah menjadi seseorang yang bisa memiliki pemikiran kritis. Mengkritik mudah, tetapi berpikir kritis tidak mudah. Seseorang bisa memiliki pemikiran kritis bila dia sudah menjadi seorang pribadi yang kokoh, kuat, memiliki prinsip, berani menjadi diri sendiri, dan kreatif tentunya. Memiliki wawasan yang luas serta maju ke depan. Sementara untuk mengkritik, tidak perlu semua itu. Apapun yang tidak sesuai dengan keinginan dan selera, bisa dikritik. Apa yang menjadi landasan dan manfaat dari kritikan itu sendiri belum tentu kuat dan kokoh. Di era yang mengagungkan demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia sekarang ini, memang semuanya sudah menjadi “blunder”. Mana yang benar dan mana yang salah sudah semakin tidak jelas karena aturan dan peraturan yang ada pun tidak jelas juga. Pegangan dan landasan yang membentuk pola pikir, cara pandang, dan kepribadian juga semakin tidak ada lagi. Kata pun semakin ambigu dan tidak memiliki arti serta makna. Demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia selalu digunakan sebagai alasan untuk mengkritik sehingga merasa sudah memiliki pemikiran yang kritis. Asal berani menentang, melawan, “berbeda”, berteriak, sudah dianggap hebat. Ya, kan?! Coba saja perhatikan bagaimana cara media di dalam melakukan dialog dengan nara sumbernya apalagi jika topiknya tentang politik. Pewawancara asyik saja memotong dan mengkritik nara sumbernya dengan keras hingga nara sumber itu terpojok. Jelas pasti terpojok, bagaimana tidak?! Diberi kesempatan untuk bicara dan menjelaskan pun tidak kecuali bila sama-sama keras dan berteriak. Bila tidak?! Herannya, pewawancara yang demikian yang dianggap hebat karena berani untuk berperilaku demikian. Apanya yang bisa membuat dia bisa dianggap berpikiran kritis?! Landasan dasar dari apa yang dikritiknya pun tidak jelas. Kritik yang diajukannya hanya merupakan adu mulut tanpa ada isi dan manfaatnya bagi perubahan yang lebih baik. Hanya hebat adu mulut dan bicara saja, tidak lebih. Apalagi dia tidak bisa menempatkan diri sesuai dengan posisi, tempat, dan waktunya sebagai seorang pewawancara di televisi, sehingga aturan serta peraturan yang menempatkan dirinya memiliki sebuah landasan pun tidak ada. Lantas, apanya yang kritis?! Sekarang ini banyak sekali yang berteriak tentang perubahan dan revolusi. Mengkritik pemerintah dan penguasa dengan teriakan-teriakan yang sangat keras dan bahkan menggunakan kata-kata yang pedas, kotor, dan kasar. Namun coba ditanyakan kembali, apa sebenarnya yang menjadi landasan dari kritikannya itu, kebanyakan hanya bias di permukaan saja. Bila ditanyakan lebih mendalam lagi tidak bisa menjawab, tuh! Jika pun menjawab, lagi-lagi tidak ada landasannya yang kuat sehingga mudah sekali untuk dipatahkan. Sama seperti banyak dari mereka yang berkata hal-hal buruk yang telah dilakukan pemerintah dan penguasa di luar negeri seperti yang dulu sering saya saksikan sendiri. Ya, landasannya ada, yaitu sakit hati, marah, dan dendam. Motivasinya pun tidak lebih dari hanya sekedar untuk mendapatkan sensasi, populeritas, simpati, perhatian, rasa iba, melampiaskan amarah, dan membalas dendam. Bila ditarik lebih jauh lagi, kebanyakan, sih, motivasinya malah hanya uang belaka. Jago kritik iya, kritis?! Sama sekali tidak!!! Berbeda sekali dengan mereka yang melakukannya dalam kerangka berpikir yang kritis. Cara berpikir, pola pikir, wawasan yang ditunjukkan lewat perilaku, ucapan, tindakan, keputusan, juga karya yang dihasilkan sulit sekali untuk dibantah dan dipatahkan begitu saja. Kenapa?! Ya, karena mereka memiliki landasan yang kuat sekali di dalam melakukan semuanya itu. Terlepas dari benar atau salahnya, tetapi diperlukan mereka juga yang berpikir kritis untuk bisa mematahkannya. Pemikiran hanya bisa dilawan oleh pemikiran. Buah pikir hanya bisa dilawan dengan buah pikir juga tidak bisa hanya seolah-olah sudah berpikir saja. Makanya, buah mulut pun dilawan oleh buah mulut sehingga terjadi adu mulut. Apakah ini menjadikan mereka yang jago adu mulut pasti memiliki pemikiran yang kritis?! Terlalu banyak masturbasi otak dan onani intelektual mungkin karena tidak ada satu pun yang bisa menghasilkan buah pikir yang “berbeda”. Selalu saja berlindung di balik pemikiran dan buah pikir orang lain yang dianggap hebat. Sudah banyak contohnya bukan?! Perhatikan saja bagaimana para pengacara itu beraksi di panggung politik. Hehehe…. Bagi saya pribadi, membayangkan bagaimana seseorang yang memiliki pemikiran kritis itu berpikir merupakan sebuah romantisme yang sangat seksi dan menggairahkan. Mereka harus melampaui batasan-batasan yang ada dengan menghilangkan segala justifikasi atau kesimpulan , melepaskan diri dari segala dogma dan doktrin yang ada dengan merasakan, bertanya, dan berpikir. Menghasilkan berbagai teori yang tentunya dirasakan, ditanyakan, dan dipikirkan kembali hingga banyak yang pada akhirnya menjadi buah karya. Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak pemikir kritis yang menghasilkan buah karya yang juga romantis. Plato, Socrates, Erasmus, Nitszche, Karl Marx, Freud, Popper, Bertrand Russel, Mahatma Gandhi, Leo Tolstoy, Levi Strauss, Derida, semua filsuf hebat yang pernah ada di dunia ini selalu menghasilkan karya yang sangat romantis dalam bertutur, berkata, dan berbahasa. Begitu juga dengan Stephen Hawking, Einstein, Newton yang berpikir kritis dalam bidang sains dan teknologi. Atau para tokoh pemimpin dunia seperti Mao, Hitler, Kruschev, Kaisar Hirohito, Martin Luther King, Dalai Lama, Syah Iran, dan lainnya. Di Indonesia pun sama, Syahrir, Soekarno, Sultan Hamengku Buwono IX, Rosihan Anwar, Hasan Tiro, dan masih banyak lagi. Mereka selalu menghasilkan buah karya yang sangat romantis, coba saja perhatikan kata-kata mereka. Romantis sekali!!! Bahkan mereka yang menuangkannya dalam bentuk yang abstrak, sarkastik atau sadis sekalipun menjadi sebuah romantisme sendiri. Coba perhatikan lirik lagu-lagu The Beatles, Pink Floyd, Jimmy Hendrix, Sting, Madona atau puisi Edgar Allan Po, Jim Morrison, atau Taufik Ismail dan Rendra. Juga lukisan yang dibuat oleh Salvador Dali dan Vincent Van Gogh juga Basuki Abdullah dan Hendra. Kenapa bisa demikian?! Karena sangat dibutuhkan kepekaan dan kepedulian yang tinggi untuk bisa menjadi seseorang yang berpikir kritis. Mereka bukan hanya ahli dan jagoan dalam bidangnya saja tetapi mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang sangat luas sekali, yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Mereka tidak hanya melihat segala sesuatunya hanya dari satu sudut pandang saja. Segala kemungkinan dari berbagai sudut yang ada semuanya diperhatikan dengan serius dan seksama. Mereka benar-benar memikirkannya dan merasakannya. Apa yang mereka hasilkan bukan hanya semata berpikir tetapi benar-benar melewati sebuah proses yang sangat tidak mudah. Ini yang membuat mereka berhasil dan sulit untuk dikalahkan meski banyak yang mencoba. Mereka juga tidak membutuhkan dukungan dari siapapun untuk membela mereka karena mereka memiliki kemampuan untuk mempertahankan pemikiran dan diri mereka sendiri. Ini tidak pernah terlepas dari daya baca dan daya bahasa mereka yang merupakan faktor penting di dalam menentukan kerangka berpikir serta menghasilkan buah karya karena semua memiliki kandungan arti dan makna yang sesungguhnya. Mereka sadar penuh bahwa untuk mengartikan dan memaknai sesuatu tidaklah sedemikian mudahnya sehingga mereka pun dengan cermat memilih kata dan bahasa yang mereka gunakan. Tidak sembarangan meski terlihat asal dan dilakukan dengan sedemikian mudahnya. Faktor kebiasaan juga mempengaruhi. Libido mereka pasti tinggi sekali dan itulah yang membuat mereka seksi!!! Libido itu mereka bisa manfaatkan untuk menantang diri mereka sendiri. Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki libido sangat tinggi mampu melakukannya. Adrenalin yang memicu libido itu membuat mereka terus bergairah. Itu juga yang memang mereka perlukan agar tetap bisa hidup dan menghadapi berbagai tantangan yang ada. Sesulit apapun, mau digoyah dan dijatuhkan seperti apapun, mereka tetap mampu menjaga eksistensi diri mereka sendiri. Libido mereka itu jugalah membuat yang lainnya terus hidup dan bergairah, disadari tidak disadari, diakui tidak diakui. Secara pribadi, mereka sosok yang sangat kuat dan kokoh serta berani untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka pikirkan berikut segala resiko dan konsekuensinya. Dianggap gila, tidak bermoral, tidak rasional, jahat, kejam, sudah biasa. Toh, waktu bisa bicara dan membuktikan semuanya karena kebanyakan manusia tidak mau melihat jauh ke depan. Hingga pada waktunya tiba, barulah semua tersadar dan terbangun. Baru mengerti apa yang sebenarnya apa yang mereka maksudkan atau apa arti dan manfaatnya bagi kehidupan. Banyak sekali hasil karya seni hasil dari buah pikir para pemikir kritis yang dianggap tidak mampu mempresentasikan perubahan. Dianggap tidak patut dan layak karena tidak bisa berkomunikasi secara jelas dan langsung serta mengarahkan mereka yang membaca, melihat, ataupun mendengarnya. Ini yang membuat ada yang berteori bahwa seorang seniman tidak bisa berkomunikasi dengan baik sehingga karya seni tidak bisa dianggap penting di dalam melakukan sebuah revolusi atau perubahan. Ya, maklum, soalnya terlalu banyak yang pintar, sih! Belum apa-apa sudah memiliki kesimpulan dan persepsi yang menjadi keyakinan tanpa dipikirkan dulu lebih jauh lagi. Membaca pun hanya aksara dan melihat pun hanya dengan mata. Bagaimana bisa dianggap peduli dan memiliki kepedulian?! Peka pun sama sekali tidak ada. Sibuk saja terus dengan masturbasi otak dan onani intelektual untuk membenarkan diri sendiri melalui kesombongan dan tinggi hati. Sudah pintar, mana mau disebut dan dianggap bodoh, ya?! Makanya yang bodoh itu hanya sedikit dan terpilih saja. Beruntunglah mereka yang pintar karena pasti banyak teman yang membenarkan dan mendukungnya. Tidak juga memiliki keberanian untuk melihat sesuatu yang berbeda karena paling takut dibilang salah dan merasa salah. Bagaimana bisa belajar?! Hanya berani mengkritik dan mengkritik itu pun hanya untuk menjatuhkan yang lainnya saja, bukan untuk melakukan sebuah perubahan berarti yang berlaku untuk semua. Bisanya hanya meniru dan mencontoh serta mengidolakan tanpa juga melihat lebih jauh lagi apa yang sebenarnya ditiru, dicontoh, dan diidolakan itu. Sebegitu takutnya menjadi diri sendiri dan terus saja berkutat di seputar mulut dan fisik hingga keseksian itu hilang sama sekali. Bagi saya, sama sekali tidak menarik. Saya selalu tertarik dengan mereka yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Romantisme yang ada di dalam diri mereka biarpun tidak tertuang dalam hasil karya bisa dirasakan lewat perilaku terutama lewat tutur kata dan bahasanya. Mereka tidak perlu mengkritik langsung ataupun bicara dengan keras dan lantang untuk tampil hebat di mata yang lainnya. Mereka cukup melakukannya dengan menjadi diri mereka sendiri dan apa adanya. Itu sudah memberikan sebuah perubahan yang sangat berarti bagi kehidupan dan masa depan. Benar-benar sangat menggairahkan!!! Kritik bukanlah kritik bila tidak memiliki arti dan manfaat yang sebenarnya karena bunga terindah pun bisa segera layu dan terhapus oleh debu. Kata bukanlah hanya sekedar kata karena kata bisa mengubah dunia. Tergantung dari diri kita sendiri bagaimana mau menjadikannya. Semoga saja akan banyak pemikir kritis yang muncul dan tumbuh serta menjadi bunga yang terindah. Memberikan keharuman dan menjadi matahari yang terus memberikan banyak arti dan manfaat bagi kehidupan dan masa depan dengan penuh cinta yang tidak pernah lekang oleh waktu lewat buah pikir dan buah karya. Gairah itu harus tetap terjaga dan harus selalu ada bila ingin tetap hidup dan memiliki kehidupan. Semoga bermanfaat!!! Salam hangat selalu, Mariska Lubis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun