Buku Sejarah Kecil Indonesia Karya Rosihan Anwar
Banyak yang bilang jadi wartawan itu enak karena sering dianggap keren, belum tahu saja bagaimana rasanya jadi wartawan. Enak, sih, enak, tapi tidak semudah itu untuk bisa menikmati profesi yang satu ini. Apalagi untuk bisa dianggap keren. Soalnya, amat sangat dibutuhkan dedikasi, kerja keras, dan juga kreatifitas serta harus banget banyak bergaul, memiliki prinsip, dan selalu mau belajar. Kalau nggak, yah, begitu, deh!!! Mungkin enak, tapi apa kerennya?! Nggak percaya?! Coba tanya Kang Pepih Nugraha, Mbak Linda, Mas Achmad Subechi, Mas Wisnu Nugoroho, Mas Imam Subari, Bang Andy Syoekry Amal, Bang Faizal Assegaf, Bang Berthy Rahawarin, Mas Firman Seponada, dan Bung Taufik Al Mubarak.
Jadi ingat ucapan Bang Izharry Agusjaya Moenzir, Wartawan Senior yang masuk sebagai salah satu anggota Dewan Kehormatan Pers Indonesia dan juga penulis buku "Gesang" dalam statusnya di facebook. Dia berkata, "Kualitas TV di negeri ini sudah sangat merosot tajam. Ketika CNN, Fox, CNBC Asia, BBC, Al Jazeera, Chanel News Asia, dan lain-lain bicara tentang isu-isu penting dunia, TV negeri ini masih terpesona dengan acara-acara "cemen" seperti tawuran, KDRT, kawin cerai artis, humor slapstick, dan lain-lain. Bahkan sapi besar berkeliaran di jalan pun jadi berita besar! Disgusting!". Sepakat!!! 100% setuju!!!
Saya ingin sekali semua bisa membaca serial bukunya wartawan senior Rosihan Anwar, “Sejarah Kecil Indonesia”, salah satunya bercerita tentang sejarah media massa dan juga kewartawanan di Indonesia. Di dalam buku itu jelas sekali tampak kegelisahan beliau atas media dan juga kewartawanan pada saat sekarang ini. Memang jelas beda sekali!!! Pada masa saya menjadi wartawan dan saat ini saja sudah sangat jauh berbeda.
Salah satu kakek saya, Almarhum Abdoel Karim adalah mantan Pemimpin Redaksi harian “Pedoman” yang dibredel berkali-kali baik pada, Soekarno maupun Soeharto. Menjadi salah satu harian yang tidak boleh terbit pada kedua rezim yang berbeda, sama seperti surat kabar “Indonesia Raya”. Saya diceritakan bahwa semua itu adalah buah dari idealisme kewartawan. Beliau memang tidak takut untuk berani berbeda karena rasa cintanya pada bangsa dan Negara. Semua itu sudah ada bahkan sejak dia remaja. Ditulis dalam sebuah buku sejarah bahwa beliau pernah ditangkap di Aceh oleh Polisi Belanda karena menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan harus menghadapi pengadilan. Itulah yang kemudian menyulutkan semangatnya untuk menjadi seorang wartawan.
Saya belajar dari semua pengalamannya itu, ditambah lagi juga dari kakek saya yang lainnya, yang juga berkecimpung di dunia politik dan tulis menulis, bahwa memang dibutuhkan sekali nyali dan juga keinginan yang kuat serta usaha yang ekstra keras untuk bisa menjadi seorang wartawan, penulis, sekaligus seorang politisi. Saya juga diingatkan selalu bahwa diplomasi lewat tulisan juga menjadi sangat penting di dalam mencapai tujuan bangsa dan Negara. Perjuangan tidak hanya lewat angkat senjata, tetapi diplomasi jelas membuahkan banyak hasil. Lihat saja Perundingan Meja Bundar, Perjanjian Roem Royen, dan juga Konferensi Asia Afrika. Peranan wartawan saat itu sungguh sangat luar biasa sekali di dalam mewujudkannya.
Harus diakui bahwa pengalaman mereka semua juga yang membuat saya kemudian sulit untuk menjadi seorang wartawan, penulis, ataupun terjun ke politik langsung. Mungkin karena trauma atas apa yang pernah terjadi kepada keluarga kami semua, ditambah lagi hanya sedikit dari anggota keluarga yang meneruskan jejak mereka. Bahkan di generasi saya, hanya saya sendiri saja yang melanjutkannya. Itupun tentunya tidak mudah sama sekali, namun saya tidak takut.
Saya sudah menentukan pilihan saya dan saya sangat siap mengambil semua resiko dan tanggungjawabnya. Inilah yang membuat saya kemudian pada akhirnya melepaskan semua jabatan, gaji yang enak, dan fasilitas yang luar biasa yang saya dapatkan dari pekerjaan saya sebelumnya dan memilih untuk memulai kehidupan baru dan merangkak dari nol kembali. Apalagi setelah membaca obituary yang dibuat oleh Rosihan Anwar di Koran Kompas pada saat kakek saya yang lain, Almarhum Aboe Bakar Lubis, meninggal dunia. Secara tersirat disebutkan bahwa diharapkan akan ada yang meneruskan dan melanjutkan apa yang pernah dilakukan oleh beliau. Meski memang beliau juga sangat idealis, keras, dan unik, namun ada banyak hal yang sangat menyulut semangat saya untuk meneruskannya, meski dengan cara yang berbeda dan sesuai dengan kapasitas serta kemampuan saya.
Saya masih ingat bagaimana pembimbing saya, Ibu Widarti Gunawan, sangat keras sekali di dalam mendidik para editor dan juga wartawannya. Beliau memang dikenal galak dan keras tetapi banyak sekali sebenarnya ilmu yang diberikan olehnya. Sejak hari pertama saya masuk kantor, sudah banyak sekali pekerjaan yang diberikan. Saya diminta untuk membuat bentuk tulisan yang bisa menjadi cirri khas karena akan membuat sebuah majalah baru. Sebuah tantangan yang tidak mudah, tetapi beliau memberikan banyak arahan. Salah satunya yang paling saya ingat adalah untuk mencoba menggali berita lewat wawancara yang berbeda dan lain dari pada yang lain. Tujuannya adalah agar bisa membuat tulisan yang berbeda juga dan tidak monoton serta lebih menarik serta memberikan lebih banyak arti dan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Tidak mudah memang untuk bisa melakukan semua itu. Kebetulan, di tempat saya dulu bekerja, Femina Group, saya dan teman-teman “diwajibkan” untuk belajar semuanya secara keseluruhan. Mulai dari menulis, mengedit, bahkan sampai membuat ilustrasi tulisan sendiri. Mau tidak mau, harus belajar juga menjadi seorang pengarah gaya dan paling tidak memiliki pengetahuan tentang fotografi. Tidak hanya sampai di sana, urusan lay out, promosi, dan juga event harus dikerjakan dan dipelajari. Oleh karena itulah, saya sering menyebut media besar ini sebagai “Kampus”, karena memang benar-benar tempat untuk belajar.
Bukan hal yang aneh bila sering lembur, jarang pulang, dan pergi berkeliling ke mana-mana. Memang banyak sekali yang harus dikerjakan, apalagi setelah kemudian saya menjadi Redaktur Pelaksana di sana. Waduh, mengedit dan membaca tulisan saja sudah memakan waktu, belum lagi rapat, bertemu orang, menghadiri berbagai undangan, plus masih harus menulis dan mewawancarai banyak orang.
Bagi saya, semua itu adalah tantangan yang menarik dan saya sangat suka menjalaninya. Betul, harus ada banyak yang dikorbankan terutama urusan anak dan keluarga. Ini juga menjadi masalah tersendiri. Bagi pasangan yang tidak bisa memahami dunia seperti ini, sulit sekali untuk bisa menerimanya. Tidak mudah untuk bisa membagi waktu ditambah lagi sungguh sangat tidak mudah untuk menolak pekerjaan. Hati nurani selalu saja ingin bergerak ke sana ke mari.
Sayangnya, sepertinya keinginan ini menjadi tidak ada di dalam jiwa wartawan sekarang ini. Petualangan yang ada hanya berkisar kepada kenikmatan untuk bisa jalan-jalan dan bertemu dengan orang-orang terkenal dan penting saja. Berita pun kemudian menjadi sangat hambar dan menjadi tidak jelas lagi apa isinya. Ini menjadi sebuah kemunduran di dalam dunia jurnalistik menurut saya. Apalagi bila isinya hanya seputar gosip yang hanya membodohi dan merusak saja. Kritik pun seringkali tidak mengena dan hanya asal kritik saja tanpa memberikan arahan untuk menggiring massa mencari solusi bersama.
Coba perhatikan saat musibah terjadi. Pertanyaan klise yang diajukan oleh wartawan sekarang ini adalah, “Apakah ibu/bapak/adik merasa sedih?!”. Yah, itu, sih, nggak perlu ditanya kali!!! Namanya juga orang kena musibah, sudah pastilah sedih. Lalu dilanjutkan lagi dengan pertanyaan, “Apakah ada firasat sebelumnya?!”. Aduh!!! Benar-benar tidak memiliki empati dan juga simpati!!! Kenapa tidak diberikan pertanyaan yang bisa membantunya untuk meringankan bebannya itu?! Bisa, kan, bertanya, “Musibah ini sudah terjadi, apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk ke depan nanti?!”.
Yang paling sangat saya sedihkan adalah berita tentang gosip. Memang wartawan itu tugasnya adalah menyebarkan berita dan informasi, tetapi haruskah kemudian melakukan pembodohan atas nama kebebasan dan demokrasi?! Ayolah, jujur saja dan terus terang saja!!! Komersialisasi dan industrialisasi sudah mengubah prinsip dan idealisme itu. Uang menjadi segala-galanya bukan?! Idelisme wartawan yang seharusnya membawa perubahan untuk kepentingan orang banyak justru tidak diindahkan sama sekali.
Tidak masalah sebetulnya untuk bercerita tentang kehidupan seseorang, tetapi tidakkah bisa menjadi netral dalam membuat sebuah berita?! Bukankah salah satu keberhasilan dan kunci sukses seorang wartawan itu adalah kemampuannya untuk bisa memberikan berita yang sifatnya netral?! Jika hanya menggiring massa ke satu posisi saja, berarti tidak netral, dong!!! Lihat saja kasusnya Ariel dan Luna Maya, apa yang terjadi?! Manusia menjadi saling hujat sampai melupakan bahwa diri sendiri pun belum tentu lebih baik dari mereka. Semua menjadi merasa paling dan paling. Apa itu membantu menjadikan bangsa ini menjadi lebih sehat dan membuat semua memiliki kehidupan yang lebih baik?!
Yah, ini hanya sekedar curahan hati dari seorang mantan wartawan saja meski sekali-kali masih juga, sih, menulis reportase untuk media. Tidak mudah menjadi seorang wartawan. Tidak juga menjadi keren dan hebat meski sudah memiliki kartu wartawan. Ada banyak hal lain yang seharusnya dipentingkan. Idealisme itu harus dimiliki dan dikembalikan lagi pada tempatnya. Semoga berkenan dan bisa memberikan arti serta manfaat.
Salam Kompasiana,
Mariska Lubis
Catatan:
Tulisan ini saya persembahkan untuk Bang Andy Syoekry Amal dan Bang Faizal Assegaf yang sedang giat memperjuangkan Jurnalisme Fesbuk. Mari kita sama-sama mendukung agar dunia jurnalisme menjadi lebih baik. Lebih banyak informasi yang diterima oleh masyarakat dan lebih banyak lagi berita yang baik serta berguna bagi bangsa dan Negara.
Juga untuk Kata Kita, KATA Insitute, lembaga pengkajian, pendidikan, pelatihan, dan pendampingankata dan bahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H