Kondisi diatas merupakan kondisi yang dapat mencetuskan fenomena prosiklikatalis 2 yang dapat menyebabkan krisis di Indonesia. Kebijakan makropudensial yang menjadi mandat tugas Bank Indonesia perlu dilakukan untuk mengantisipasi krisis ekonomi melalui pengaturan dan pengawasan makroprudensial pada lembaga keuangan Kondisi krisis ekonomi dan keuangan Amerika dan Eropa tidak serta merta memberikan dampak ke Indonesia. Paket-paket kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh pemangku kepentingan telah membawa Indonesia pada kondisi ekonomi yang stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Hal ini terjadi
mengingat sinergitas dan kordinasi para pemangku kepentingan di Indonesia yang dilakukan dengan baik sejak pandemi menghantam dunia di tahun 2020.
Keketuaan Indonesia di KTT ASEAN, Inovasi Keuangan Digital Indonesia dan Kontinuitas Sinergi dan Kordinasi Pemangku Kepentingan di Tengah Disrupsi Pasca-PandemiÂ
Ketahanan ekonomi dan keuangan Indonesia cukup baik, di tengah disrupsi-pasca pandemi dan ekonomi global, dan tidak terlepaskan dari kordinasi dan sinergitas kebijakan fiskal, moneter dan makroprudensial para pemangku kepentingan. Penerapan kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan Bank Indonesia dilaksanakan terintegrasi dengan kebijakan pemangku kepentingan
keuangan dan ekonomi Indonesia untuk menjaga ketahanan industri perbankan dan iklim bisnis dan usaha negeri. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan merupakan pemangku kepentingan yang memiliki mandat menjaga kestabiltan sistem keuangan Indonesia.
Pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan disrupsi keuangan global yang menimbulkan ketidakpastian memberikan kepanikan di masyarakat. Komunikasi publik dan kordinasi KSKK, Pemerintah dan masyarakat akan implementasi kebijakan makroprudensial yang diterapkan di Indonesia meredam kepanikan tersebut. Hal ini terlihat dari aliran modal asing yang masuk ke Indonesia pasca kebangkrutan Silicon Valley Bank dan perbankan Amerika. Inovasi kebijakan makroprudensial yang mendukung ketahanan industri perbankan dan lembaga keuangan terus dilakukan guna menyiptakan kepercayaan publik pada Indonesia sehingga resiko sistemik dapat diminimalisir.
Sinergitas Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan para pemangku kepentingan di Indonesia melalui penerapan kebijakan moneter dan makroprudensial yang intensif memberikan ketahanan industri perbankan, terkendalinya inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi. Sinergitas para pemangku kepentingan dalam mengembangkan program-program nasional yang mendukung aktivitas ekonomi UMKM secara nasional, seperti: Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) dan Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI).
Bank Indonesia mendukung dengan penerapan kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dengan mempertahankan: (a) rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%; (b) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84 - 94%; serta (c) rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6% dengan fleksibilitas repo sebesar 6%, dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5% 4 .
Keketuaan Indonesia pada KTT Asean tahun 2023 ini membuka lebar penerapan kebijakan makroprudensial Indonesia dengan kolaborasi penggunaan QRIS pada sistem pembayaran di beberapa negara di ASEAN, Brazil, Argentina, China, dan Rusia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi dari dedolarisasi yang terjadi sejak persoalan geopolitik Rusia-Ukraina terjadi dan diinisiasi oleh Rusia.
Program kesepakatan bilateral di bidang keuangan ini merupakan program mengurangi ketergantungan pada dolar. Bank Indonesia yang telah melakukan inovasi sistem pembayaran melalui QRIS menyambut baik hal ini dan memaksimalkan komunikasi publik di KTT ASEAN, dengan membuat kesepakatan sistem pembayaran digital lintas batas, guna menguatkan ketahanan stabilitas
sistem keuangan.