Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Dalam Kegelapan Kota Lama

28 September 2024   21:12 Diperbarui: 28 September 2024   21:25 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Kegelapan Kota Lama

(Oleh: Marisa Fitri)

Ria berdiri di depan gerbang besar yang berkarat itu, tatapannya tertuju pada kota lama yang terbentang di depannya. Udara dingin menusuk kulit, dan angin malam membawa aroma tanah basah. Gerbang itu sudah lama tak dibuka, dan kini ia berdiri di sana, memegang kunci kecil yang dipercayakan padanya oleh seorang pria tua misterius di pusat kota.

"Jangan masuk ke sana saat malam tiba," pesan pria tua itu, suaranya serak dan tegas. Namun, Ria tahu ia tidak punya pilihan. Sesuatu memanggilnya, mengajaknya kembali ke tempat di mana kenangan masa kecilnya terkubur, berselimut misteri dan ketakutan.

Kota tua itu adalah bagian dari masa lalunya. Di sanalah ia tumbuh besar bersama keluarganya sebelum mereka dipaksa meninggalkan tempat itu akibat sebuah tragedi yang tak pernah dijelaskan dengan jelas. Sudah hampir dua puluh tahun berlalu sejak ia terakhir kali menjejakkan kakinya di sana.

Dengan ragu-ragu, Ria memasukkan kunci ke dalam gembok berkarat dan memutarnya. Suara gembok tua itu berderit keras, seolah menjerit karena terganggu setelah sekian lama tertidur. Gerbang itu terbuka perlahan, memperlihatkan jalan batu yang panjang menuju pusat kota lama. Lampu-lampu jalan yang dulu menerangi kini padam, hanya menyisakan bayangan dan kegelapan.

Ria menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Ia melangkah masuk, suara sepatu botnya memantul di jalan yang sepi. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan dirinya untuk terus maju. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takut yang mulai merayap di dalam dirinya.

Kota lama ini adalah tempat penuh cerita. Ketika Ria kecil, ia sering mendengar bisikan-bisikan orang dewasa tentang kejadian-kejadian aneh di sini---orang-orang yang menghilang, suara-suara aneh di malam hari, dan bayangan-bayangan yang terlihat di sudut mata. Namun, keluarganya selalu menolak berbicara tentang hal itu, seolah ada rahasia yang disembunyikan.

Kini, Ria kembali, bukan untuk mencari jawaban atas misteri masa kecilnya, melainkan karena ia merasa harus melakukannya. Setelah kematian ibunya beberapa bulan lalu, sebuah surat ditemukan di dalam laci tua. Surat itu ditulis oleh ibunya, yang memperingatkan Ria untuk tidak kembali ke kota lama itu. Namun, justru surat itulah yang membangkitkan rasa ingin tahu yang selama ini terkubur.

Ria berhenti sejenak di tengah jalan. Di sekelilingnya, bangunan-bangunan tua berdiri bisu, dinding-dindingnya ditumbuhi lumut dan tanaman liar. Beberapa jendela pecah, memperlihatkan kegelapan di dalamnya. Dulu, tempat ini pernah ramai, penuh dengan kehidupan. Sekarang, hanya kesunyian yang tersisa.

Di kejauhan, Ria melihat sebuah rumah besar yang terletak di puncak bukit kecil. Itu adalah rumah keluarganya, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Tanpa ragu, ia melangkah lebih cepat, mendekati rumah itu.

Ketika ia sampai di halaman rumah, kenangan masa kecil mulai membanjiri pikirannya. Ia ingat berlari di taman ini bersama adiknya, bermain petak umpet, dan mendengar cerita dari ibunya tentang nenek moyang mereka yang pernah tinggal di rumah itu. Namun, satu malam mengubah segalanya. Malam ketika ayahnya hilang tanpa jejak.

Pintu depan rumah itu terbuka dengan mudah ketika Ria mendorongnya. Di dalam, aroma debu dan kayu lapuk memenuhi udara. Ria berjalan perlahan-lahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderit. Lampu gantung besar yang dulu menerangi ruang tamu kini bergantung tanpa nyala, dan furnitur-furnitur tertutup kain putih yang sudah usang.

Ria berhenti di depan tangga besar yang mengarah ke lantai dua. Di sanalah kamar-kamar keluarga mereka berada. Tanpa sadar, ia mulai naik tangga, meskipun hatinya berdebar kencang. Sesuatu di dalam dirinya merasa bahwa ia tidak sendirian di rumah itu.

Di puncak tangga, ia melihat sebuah pintu yang terbuka sedikit. Itu adalah kamar orang tuanya. Ria mendekati pintu itu, tangannya gemetar ketika menyentuh gagang pintu. Ketika ia mendorongnya, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang tertata rapi, seolah tidak ada yang berubah sejak bertahun-tahun lalu.

Namun, ada sesuatu yang aneh. Di meja kecil di sudut kamar, ada sebuah buku terbuka. Ria ingat betul buku itu. Itu adalah buku harian ibunya, yang selalu disimpan dengan rapi di dalam laci. Ria mendekat, membaca halaman yang terbuka.

Tulisannya berbunyi:

"Aku tak bisa menyembunyikan ini lebih lama lagi. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang gelap dan berbahaya. Dulu, aku pikir itu hanya khayalan. Namun, setelah malam itu... setelah dia menghilang, aku tahu ada yang salah. Aku takut itu akan datang untuk Ria."

Ria tersentak mundur. Kata-kata itu membuatnya merinding. Ibunya tahu sesuatu yang tak pernah diceritakan. Ia ingin segera pergi dari sana, tapi sesuatu menarik perhatiannya. Di bawah buku harian itu, ada sebuah kunci kecil, mirip dengan yang ia gunakan untuk membuka gerbang kota. Hanya saja, kunci ini lebih tua dan terlihat lebih rapuh.

Tanpa pikir panjang, Ria mengambil kunci itu. Seperti ada dorongan tak terlihat yang membawanya ke lantai bawah, menuju ruang bawah tanah yang selalu terkunci ketika ia kecil. Kini, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Ruang bawah tanah itu gelap dan lembap. Dinding-dindingnya dipenuhi jamur, dan bau apak menusuk hidung. Namun, Ria tetap melangkah maju, kunci di tangannya terasa semakin berat. Di ujung ruangan, ada sebuah pintu besi besar, yang terlihat tak sejalan dengan desain rumah tua ini.

Dengan tangan gemetar, Ria memasukkan kunci ke dalam lubang kunci. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang memekakkan telinga, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang menurun. Cahaya dari ruang bawah tanah tak mampu menembus lorong itu, seolah kegelapan di dalamnya terlalu pekat.

Namun, Ria tidak bisa mundur sekarang. Dengan senter yang ia temukan di dapur, ia melangkah masuk ke dalam lorong itu. Setiap langkah membawa dirinya semakin jauh ke dalam kegelapan. Lorong itu semakin sempit, dan di ujungnya, Ria melihat sebuah ruangan besar dengan dinding batu. Di tengah ruangan itu, ada sebuah altar batu besar.

Di atas altar itu, sesuatu bersinar redup. Ria mendekat, menyadari bahwa benda yang bersinar itu adalah sebuah liontin, liontin yang sama dengan yang pernah diberikan ayahnya sebelum ia menghilang. Dengan hati-hati, Ria mengambil liontin itu, dan saat itulah ia merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya.

Ria membeku. Suara napas berat terdengar di telinganya, dan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia perlahan menoleh, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya membeku.

Di sana, berdiri bayangan gelap dengan bentuk manusia, namun wajahnya kabur, seolah diselimuti kabut. Sosok itu mendekat, tangan hitamnya terulur, seakan ingin meraih Ria.

Dengan panik, Ria melangkah mundur, tapi kakinya tersandung dan ia jatuh ke lantai. Sosok itu semakin mendekat, dan ketika ia hampir menyentuh Ria, liontin di tangannya bersinar terang, memancarkan cahaya yang menyilaukan.

Sosok itu mundur, berteriak dengan suara yang menggetarkan seluruh ruangan. Ria memanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri dan berlari keluar dari lorong, meninggalkan ruang bawah tanah dan menutup pintu besi di belakangnya. Napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya gemetar hebat.

Ketika ia akhirnya sampai di luar rumah, fajar mulai menyingsing. Cahaya matahari pagi menyambutnya, seolah mengusir semua kegelapan yang tadi membayanginya. Dengan liontin di tangan, Ria tahu bahwa rahasia keluarganya lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia selamat. Setidaknya, untuk saat ini.

Ia berjalan menjauh dari rumah itu, meninggalkan kota lama yang penuh misteri dan bayang-bayang. Namun, di dalam hatinya, Ria tahu bahwa kegelapan itu belum sepenuhnya hilang. Mungkin suatu hari, ia harus kembali. Tapi untuk sekarang, ia akan pergi, meninggalkan semua itu di belakang---atau setidaknya, berusaha.

Sumbawa, 28 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun