Senja selalu membawa Rendra kembali ke masa lalu. Di kota kecil ini, di bawah langit yang perlahan memudar menjadi jingga keunguan, ia bisa merasakan setiap hembusan angin yang berbisik dengan cerita-cerita lama. Kota ini, yang dulunya penuh dengan tawa anak-anak, hiruk pikuk pasar, dan gemericik air sungai, kini terasa begitu sepi. Hanya ada jejak-jejak memori yang tersimpan dalam setiap sudutnya.
Rendra baru saja tiba di rumah keluarganya. Sebuah rumah tua yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Pintu kayunya masih sama, dengan goresan di sudut kiri yang pernah ia buat saat kecil, sebuah tanda kenakalan yang tak pernah terlupakan. Rumah itu tampak rapuh, seperti menahan beban usia, namun tetap berdiri kokoh seakan menunggu kehadiran seseorang.
Dengan satu tarikan napas, Rendra membuka pintu. Aroma kayu tua yang familiar langsung menyeruak, membawanya ke masa-masa ketika ia masih kecil. Ibunya biasa duduk di kursi goyang di sudut ruang tamu, menyulam sambil menatap keluar jendela. Ayahnya, seorang pria pendiam yang penuh wibawa, selalu duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan.
Tapi, itu semua sudah lama berlalu. Keduanya telah pergi meninggalkan dunia ini lebih dari satu dekade yang lalu, dan Rendra tak pernah punya cukup alasan untuk kembali. Sampai sekarang.
Rendra tidak pernah menyangka hidupnya akan kembali ke titik ini. Setelah hampir dua puluh tahun meninggalkan kota ini, ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali. Mungkin itu adalah rasa bersalah yang tak pernah tuntas, atau mungkin, hanya rindu yang tertahan begitu lama.
Namun ada satu alasan utama yang membuat Rendra benar-benar memutuskan kembali ke sini: sebuah surat. Surat itu datang seminggu yang lalu, tanpa tanda pengirim. Hanya selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang hampir tak terbaca. Tapi kalimat yang tertulis di sana begitu jelas dan menggugah, "Aku menunggumu di senja terakhir."
Siapa yang menulisnya? Dan apa maksudnya dengan "senja terakhir"? Rendra tak tahu. Tapi surat itu mengusik hatinya. Ada sesuatu yang terpendam, sesuatu yang belum selesai, dan hanya dengan kembali ke kota ini ia bisa menemukan jawabannya.
Hari-hari pertama di rumah tua itu terasa hampa. Rendra berusaha menghidupkan kembali memori yang sudah lama terkubur. Ia berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong kota, mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah akrab baginya. Toko roti di ujung jalan tempat ia dan teman-temannya sering membeli kue sepulang sekolah kini telah berubah menjadi toko elektronik. Warung kopi yang biasa dikunjungi ayahnya sekarang kosong, seolah menunggu pengunjung yang tak pernah datang.
Namun, ada satu tempat yang tetap sama: taman kecil di dekat sungai. Di sinilah, bertahun-tahun yang lalu, Rendra pertama kali bertemu dengan Lila.
Lila. Nama itu selalu menghantui pikiran Rendra sejak surat itu datang. Ia tak pernah bisa melupakan senyum Lila yang lembut, matanya yang cerah, atau tawa renyahnya yang selalu membuat segala sesuatu tampak lebih baik. Lila adalah sahabatnya, cinta pertamanya, dan satu-satunya alasan ia tetap bertahan di kota ini selama masa remajanya.
Mereka selalu bertemu di taman itu saat senja tiba. Di bawah pohon besar yang menaungi bangku kayu tua, mereka berbicara tentang segala hal. Tentang mimpi, harapan, dan masa depan. Namun, hidup tak pernah seindah yang mereka bayangkan. Rendra tahu Lila memiliki rahasia, sesuatu yang selalu ia sembunyikan di balik senyum manisnya. Tapi, ia tak pernah memaksa Lila untuk berbicara, sampai hari itu.
Satu senja di musim panas, segalanya berubah. Lila tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata pun. Tak ada surat, tak ada pesan. Ia lenyap begitu saja, meninggalkan lubang besar di hati Rendra. Seminggu setelah kepergiannya, kabar datang. Lila meninggal dalam kecelakaan tragis di kota sebelah. Tubuhnya ditemukan di tepi jalan raya, jauh dari rumah. Sejak saat itu, Rendra tak pernah sama lagi. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi pada Lila.
Kembali ke taman itu, Rendra merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Pohon besar masih ada di sana, berdiri tegak seolah menjadi saksi bisu segala yang pernah terjadi di bawahnya. Bangku kayu itu juga masih di tempatnya, meski kini terlihat lebih usang dan lapuk.
Ia duduk di sana, meresapi setiap kenangan yang kembali berputar di pikirannya. Angin senja yang lembut menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Tapi, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Rendra merasa tak nyaman.
Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Rendra menoleh, dan matanya melebar. Di antara bayang-bayang pepohonan, seseorang muncul. Seorang perempuan, dengan gaun putih panjang, berjalan perlahan ke arahnya.
"Lila?" gumam Rendra, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Perempuan itu semakin mendekat, dan meski wajahnya samar tertutup bayangan, Rendra tahu, itu Lila. Tak mungkin salah. Ia mengenali setiap gerakan, setiap lekuk tubuh yang pernah ia kenal dengan baik.
"Lila... bagaimana mungkin?" tanyanya, suaranya bergetar.
Lila berdiri di hadapannya, diam tanpa kata. Wajahnya terlihat tenang, namun ada kesedihan yang mendalam di matanya. Ia lalu duduk di samping Rendra, persis seperti yang biasa mereka lakukan dulu.
"Rendra..." suara Lila terdengar lembut, namun ada sesuatu yang aneh dalam nada bicaranya. "Aku datang untuk memenuhi janjiku."
Rendra masih terdiam, otaknya mencoba memahami apa yang terjadi. "Janji? Janji apa?"
Lila tersenyum tipis, senyum yang begitu ia rindukan selama ini. "Janji kita untuk bertemu di senja terakhir."
Hati Rendra serasa mencelos. "Senja terakhir? Apa maksudmu, Lila? Kau... kau sudah tiada. Bagaimana mungkin kau bisa ada di sini?"
Lila menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Rendra, aku tak pernah benar-benar pergi. Aku selalu di sini, menunggumu. Ada sesuatu yang harus kusampaikan, sesuatu yang belum sempat kukatakan padamu dulu."
Rendra merasa dadanya semakin berat. "Apa itu?"
"Maafkan aku," ucap Lila pelan, menunduk. "Aku pergi tanpa memberimu penjelasan. Aku tahu itu menyakitkan bagimu, tapi aku tak punya pilihan. Aku membawa beban yang terlalu besar untuk kau tanggung."
Rendra merasakan air mata menggenang di matanya. "Apa yang terjadi, Lila? Aku butuh tahu. Selama bertahun-tahun aku menyalahkan diriku sendiri karena tak bisa menjagamu."
Lila menggeleng. "Bukan salahmu. Hidupku sudah dipenuhi oleh rahasia yang tak mungkin kubagi, bahkan denganmu. Keluargaku... mereka memaksaku pergi. Aku tak pernah ingin meninggalkanmu, tapi aku tak punya kekuatan untuk melawan."
Rendra menggenggam tangan Lila, merasakan kehangatan yang aneh. "Tapi kau bisa kembali. Kita bisa memulai lagi."
Lila tersenyum sedih. "Waktuku sudah habis, Rendra. Aku sudah tak lagi menjadi bagian dari dunia ini. Aku hanya datang untuk mengucapkan selamat tinggal."
Rendra terdiam. Kata-kata Lila menghantamnya seperti ombak besar. Ia tahu ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang tak bisa diubah. Lila benar-benar telah pergi, dan ini adalah pertemuan terakhir mereka.
"Jadi... ini benar-benar akhir?" tanya Rendra, suaranya hampir tak terdengar.
Lila mengangguk pelan. "Tapi jangan khawatir. Kau akan baik-baik saja, Rendra. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, selalu."
Air mata yang tak bisa lagi ditahan mengalir di pipi Rendra. Ia tak bisa berkata-kata, hanya bisa memandangi Lila yang perlahan memudar di hadapannya. Senja semakin gelap, dan bayangan Lila semakin hilang ditelan kegelapan malam.
Esok harinya, Rendra terbangun di bangku kayu taman itu, sendirian. Pohon besar masih berdiri tegak, dan angin pagi berhembus lembut. Ia tahu Lila benar-benar telah pergi, tapi rasa damai yang tak pernah ia rasakan sebelumnya mengisi hatinya.
Ia bangkit, menyeka sisa air mata di wajahnya, dan menatap langit yang mulai cerah. Kini, Rendra tahu bahwa meski Lila telah tiada, cintanya akan selalu ada di hati. Senja terakhir telah berlalu, tapi hidupnya masih berlanjut.
Dan di bawah langit pagi yang baru, Rendra melangkah pergi, membawa kenangan itu bersamanya.
Sumbawa, 24 September 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI