Jejak Tanpa Arah
(Oleh: Marisa Fitri)Â
Aku tak ingat kapan terakhir kali menginjakkan kaki di kota ini. Entah sudah berapa tahun berlalu sejak kepergianku, tapi bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui dalam diam. Kota kecil di pesisir ini, dengan hiruk-pikuk pasar yang semrawut, aroma laut yang asin, dan suara riuh anak-anak berlarian di gang-gang sempit, masih menyisakan sepotong diriku yang dulu.
Aku kembali bukan karena kerinduan. Lebih tepatnya, karena tak ada lagi tempat lain untuk pulang. Di Jakarta, kehidupan seperti roda besar yang tak pernah berhenti berputar. Aku hanyalah satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan, orang yang terjebak di dalamnya. Aku terseret, terhempas, dan akhirnya terjatuh. Ketika segala hal mulai runtuh, aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana segalanya bermula. Mungkin di sini, di kota kecil ini, aku bisa menemukan kembali diriku yang hilang.
Di sini, aku menginap di sebuah penginapan tua yang terletak di pinggir pantai. Aroma kayu lapuk menyambutku ketika aku pertama kali masuk. Pemiliknya seorang perempuan tua, mungkin berusia lebih dari tujuh puluh, dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih. Wajahnya dipenuhi keriput, namun senyumnya ramah.
"Selamat datang, Nak," sapanya lembut ketika aku menyerahkan KTP untuk check-in. "Kamu pasti orang baru di sini?"
Aku menggeleng pelan. "Saya pernah tinggal di sini dulu, tapi sudah lama pergi."
Perempuan itu mengangguk sambil menyerahkan kunci kamar. "Semoga kamu betah di sini. Pantainya indah, tapi kadang bisa sepi."
Aku mengangguk, kemudian naik ke lantai dua, mencari kamar nomor 205. Kamar itu kecil, dengan sebuah jendela yang menghadap langsung ke pantai. Dari sana, aku bisa melihat ombak yang bergulung pelan, menyapu pasir putih di bawah sinar matahari yang mulai terbenam.
Aku menarik napas dalam, mencoba merasakan kehadiran masa lalu yang dulu pernah kukenal. Namun, rasanya kota ini tak lagi sama. Ada yang berubah, entah itu kota ini atau aku sendiri.
Di malam pertama, aku terjaga lama di tepi jendela, menatap langit gelap yang dihiasi bintang-bintang yang tak terlalu terang. Pantai sepi, hanya suara ombak dan angin yang sesekali terdengar. Rasa sepi itu begitu menyesakkan, mengingatkanku pada banyak hal yang pernah kualami. Aku teringat pada Tia.
Tia adalah salah satu alasan kenapa aku pergi meninggalkan kota ini. Dulu, dia adalah segalanya bagiku. Kami bertemu saat masih duduk di bangku SMA, di sebuah kafe kecil yang sering kami kunjungi untuk belajar bersama. Tia selalu ceria, penuh tawa, dan tak pernah kehabisan cerita. Bersamanya, aku merasa hidup selalu penuh warna. Tapi kenyataan berkata lain. Setelah bertahun-tahun bersama, kami terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Tia ingin sesuatu yang lebih dari hidupnya, sementara aku merasa puas dengan apa adanya.
"Kamu nggak pengen sesuatu yang lebih?" tanya Tia suatu malam ketika kami duduk di tepi pantai, menikmati angin laut yang sejuk.
"Apa maksudmu?" aku balik bertanya.
"Aku pengen keluar dari kota ini, cari sesuatu yang baru, yang lebih besar. Aku pengen coba hidup di kota besar, mungkin Jakarta."
Aku terdiam. Aku tidak ingin meninggalkan kota ini. Hidupku sudah nyaman di sini. Tapi Tia, dengan ambisinya, melihat hal yang berbeda.
Akhirnya, dia pergi ke Jakarta, meninggalkan aku dan segala kenangan yang pernah kami ciptakan bersama. Kami sempat berhubungan jarak jauh, namun seiring waktu, komunikasi kami semakin jarang, hingga akhirnya benar-benar hilang. Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa dia sudah bertunangan dengan seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta.
Aku tidak pernah menyalahkannya. Aku tahu, pada akhirnya, dia hanya mengejar impian yang selama ini dia inginkan. Tapi kepergian Tia membuatku merasa kosong, seperti ada bagian dari diriku yang hilang dan tak pernah bisa kembali.
Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Udara pagi yang segar menyambutku, dan aku kembali merasakan nostalgia di setiap sudut jalan yang kulewati. Beberapa toko yang dulu sering aku kunjungi sudah tutup, digantikan dengan bangunan-bangunan baru. Namun ada satu tempat yang tetap sama --- kafe kecil di tepi pantai tempat aku dan Tia sering menghabiskan waktu bersama.
Aku masuk ke dalam kafe itu, dan aroma kopi hangat langsung menyapa inderaku. Tak banyak yang berubah dari kafe ini, kecuali wajah-wajah baru yang duduk di meja-meja. Aku memilih duduk di dekat jendela, tempat favorit kami dulu. Ketika pelayan datang, aku memesan secangkir kopi hitam dan sebuah croissant.
Sambil menunggu pesananku datang, aku mengamati sekeliling. Di meja pojok, ada seorang pria muda yang sedang sibuk dengan laptopnya, mungkin seorang pekerja lepas. Di sisi lain, sepasang kekasih terlihat sedang asyik bercanda. Pemandangan ini membuat pikiranku melayang kembali ke masa lalu.
Tak lama, seorang perempuan masuk ke dalam kafe. Aku hampir tak percaya saat melihat wajahnya. Itu Tia. Dia terlihat sedikit berbeda, lebih dewasa dan elegan, tapi aku bisa mengenalinya dalam sekejap. Rambutnya kini lebih panjang, tergerai lembut di bahunya. Dia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam.
Tia berhenti sejenak di pintu, kemudian matanya bertemu denganku. Ada keheningan yang canggung, seolah waktu berhenti sejenak. Dia tersenyum tipis, dan aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan kecil.
Dia menghampiri mejaku dengan langkah pelan, membawa secangkir kopi yang baru saja ia pesan di kasir. "Boleh duduk di sini?" tanyanya lembut.
"Tentu," jawabku, mencoba menyembunyikan kegugupan.
Tia duduk di hadapanku, dan kami terdiam untuk beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikiran kami sendiri. Rasanya aneh bertemu dengannya setelah bertahun-tahun. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Kamu masih di sini, ya?" Tia akhirnya membuka percakapan.
Aku mengangguk. "Aku sempat pergi ke Jakarta, tapi... akhirnya kembali ke sini."
"Kenapa?" tanyanya, matanya menatapku tajam.
Aku terdiam. Sulit untuk menjelaskan semua alasan di balik kepulanganku. "Aku... merasa kehilangan diri sendiri di sana. Di kota besar, semuanya bergerak begitu cepat. Aku tak bisa mengikuti."
Tia mengangguk pelan, seolah mengerti. "Aku juga merasakan hal yang sama di awal. Tapi, lama-lama, aku mulai terbiasa. Jakarta memang keras, tapi di sana aku menemukan banyak hal yang aku cari."
Aku tersenyum pahit. "Aku senang kamu menemukannya."
Kami kembali terdiam, tapi kali ini keheningan itu tak terlalu canggung. Ada rasa saling mengerti di antara kami, meski tanpa kata-kata. Mungkin karena kami pernah berbagi masa lalu yang sama, meski kini hidup kami sudah berbeda arah.
"Tia..." aku mulai berbicara, tapi kemudian ragu. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi semuanya terasa tak relevan lagi.
"Apa?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
"Maaf... atas semuanya. Atas aku yang dulu tak pernah bisa mengikuti apa yang kamu inginkan."
Tia terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Kamu tak perlu minta maaf, Rio. Aku juga punya bagian dari kesalahan itu. Kita hanya... ingin hal yang berbeda."
Aku menunduk, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam diriku. Mungkin Tia benar. Kami hanya berbeda. Dan mungkin, pertemuan ini adalah cara semesta memberitahuku bahwa tak apa-apa untuk melepaskan sesuatu yang pernah begitu berarti.
Kami berbicara selama beberapa jam, mengenang masa lalu dan membicarakan kehidupan kami yang sekarang. Tia sudah menikah dan memiliki seorang putri kecil, sementara aku masih sendiri, mencoba menemukan kembali diriku yang hilang. Namun, anehnya, aku tak merasa cemburu atau iri. Aku hanya merasa lega, karena akhirnya kami bisa berbicara seperti dua teman lama yang sudah berdamai dengan masa lalu.
Ketika Tia akhirnya pergi, aku menatap ke arah pantai. Matahari sudah mulai naik tinggi, dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Aku tahu, pertemuan ini bukan untuk membuka kembali luka lama, tapi untuk menutup bab yang selama ini menggantung tanpa akhir.
Aku tersenyum, merasa beban di dadaku perlahan terangkat. Mungkin, pada akhirnya, kembali bukan tentang menemukan apa yang hilang, tapi tentang menerima bahwa tak semua yang hilang perlu ditemukan kembali.
Sumbawa, 22 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H