Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sisa Hujan di Kota Kecil

6 September 2024   05:51 Diperbarui: 6 September 2024   06:10 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di kota kecil yang sering diliputi hujan, kehidupan sehari-hari terasa berjalan lambat dan penuh nostalgia. Rumah-rumah tua yang rapuh, jalanan yang basah, dan langit yang selalu mendung menciptakan suasana yang tenang sekaligus melankolis. Di salah satu sudut kota, terdapat sebuah toko buku antik yang dikelola oleh seorang pria tua bernama Pak Adi.

Pak Adi sudah lama meninggalkan masa muda dan menjalani kehidupannya dengan tenang di toko kecil itu. Setiap hari, ia menyusun buku-buku tua di rak, menata mereka dengan penuh perhatian, dan sesekali menceritakan kisah-kisah menarik kepada pelanggan yang datang. Meski usianya semakin tua, semangat Pak Adi untuk buku-buku dan cerita-cerita yang tersembunyi di baliknya tetap tak pudar.

Suatu hari, saat hujan turun dengan derasnya, seorang gadis muda bernama Melati masuk ke toko. Hujan menetes dari mantel yang dikenakannya, dan ia tampak basah kuyup. Melati baru saja pindah ke kota kecil ini dan sedang mencari tempat untuk bersembunyi dari hujan. Begitu melangkah ke dalam toko, ia disambut oleh aroma khas buku tua dan kehangatan yang menyelimuti ruangan.

Pak Adi, yang sedang duduk di balik meja kayu tua, menatap Melati dengan ramah. "Selamat datang. Hujan tampaknya cukup deras hari ini."

Melati tersenyum lemah. "Ya, benar. Saya baru saja pindah ke sini dan belum banyak mengenal tempat ini. Saya pikir lebih baik saya beristirahat sejenak di sini."

Pak Adi mengangguk. "Tentu saja. Silakan duduk. Ada teh hangat jika Anda mau."

Melati mengangguk, lalu duduk di salah satu kursi empuk di sudut toko. Sambil menunggu teh, ia memandangi rak-rak buku yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Toko buku ini seperti sebuah labirin, penuh dengan buku-buku yang seolah memiliki cerita mereka sendiri.

Pak Adi membawa secangkir teh hangat dan menaruhnya di meja di depan Melati. "Nama saya Pak Adi. Saya pemilik toko ini. Nama Anda?"

"Melati," jawab gadis itu. "Saya baru pindah ke sini dari kota besar. Mencari suasana yang lebih tenang."

"Ah, kota besar pasti penuh dengan kesibukan. Kota kecil ini memang lebih tenang, meskipun hujan hampir selalu turun setiap hari."

Melati tersenyum. "Hujan itu baru bagi saya. Di kota besar, hujan jarang turun dengan deras seperti ini."

Pak Adi tertawa kecil. "Hujan memang bisa membuat segalanya terasa berbeda. Kadang-kadang, hujan membawa kesempatan untuk merenung dan menemukan hal-hal baru."

Melati memandang ke luar jendela, di mana hujan masih turun dengan lebat. "Saya penasaran, Pak Adi. Apakah ada buku yang bisa membantu saya memahami kota ini lebih baik?"

Pak Adi memandang sekeliling tokonya. "Kami memiliki banyak buku tentang sejarah kota ini dan kisah-kisah lokal. Tapi mungkin Anda akan tertarik dengan buku yang satu ini." Ia meraih sebuah buku tua dari rak, membukanya, dan menunjukkannya pada Melati.

Buku itu berjudul "Legenda Kota Kecil", dengan sampul yang sudah mulai pudar. Melati melihat gambar-gambar lama di dalamnya, serta tulisan tangan yang indah. "Apa isi buku ini?" tanyanya.

"Itu adalah kumpulan legenda dan cerita rakyat tentang kota ini. Dulu, banyak orang percaya pada cerita-cerita itu. Beberapa di antaranya sangat menarik dan mungkin bisa memberi Anda pandangan baru tentang kota ini."

Melati membuka-buka halaman buku itu dengan rasa ingin tahu. Salah satu cerita yang menarik perhatiannya adalah tentang seorang wanita misterius yang sering terlihat di jalanan saat hujan turun. Konon, wanita itu mencari sesuatu yang hilang dan tidak pernah berhenti sampai ia menemukannya.

"Apakah cerita ini benar-benar terjadi?" tanya Melati.

Pak Adi tersenyum. "Cerita-cerita seperti itu seringkali diselimuti oleh misteri. Tidak ada yang benar-benar tahu apakah itu nyata atau hanya legenda. Tapi banyak orang di kota ini percaya bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita."

Melati merasa tertarik dan memutuskan untuk membeli buku tersebut. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, ia berpamitan dengan Pak Adi. "Terima kasih atas teh dan bukunya. Saya akan membaca cerita-cerita ini dengan saksama."

Pak Adi mengangguk. "Hati-hati di luar. Hujan mungkin membuat jalanan licin."

Melati meninggalkan toko dan melanjutkan langkahnya di bawah hujan. Buku di tangannya terasa berat, tetapi ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih berat dari itu---rasa ingin tahu dan perasaan ingin mengeksplorasi lebih jauh tentang kota kecil ini.

Kembali ke rumah barunya, Melati duduk di meja makan, membuka buku tersebut, dan mulai membaca. Setiap cerita membawa warna baru pada imajinasinya. Namun, satu cerita tetap menghantui pikirannya---tentang wanita misterius yang tidak pernah berhenti mencari sesuatu di bawah hujan.

Hari-hari berlalu, dan hujan masih terus mengguyur kota. Melati mulai mengamati lebih seksama lingkungan di sekelilingnya. Ia sering berjalan-jalan di jalanan yang basah, berharap bisa menemukan petunjuk tentang wanita misterius dalam cerita. Setiap kali hujan turun, ia merasakan dorongan kuat untuk menjelajahi jalan-jalan yang lebih sepi.

Suatu malam, saat hujan turun dengan sangat deras, Melati berjalan melewati sebuah lorong kecil yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya. Lorong itu tampak tua dan terabaikan, dengan dinding-dinding yang penuh dengan lumut. Hatinya berdebar, dan ia merasa seolah sedang berada di dalam cerita yang ia baca.

Tiba-tiba, dari ujung lorong, ia melihat seorang wanita berdiri di bawah hujan. Wanita itu mengenakan gaun putih yang basah kuyup, rambutnya panjang dan meneteskan air. Ia tampak seperti sosok yang keluar dari buku yang dibaca Melati.

Melati mendekat dengan hati-hati. "Selamat malam. Anda baik-baik saja?"

Wanita itu menoleh perlahan. Wajahnya tampak lembut dan penuh kelelahan. "Saya sedang mencarinya," jawabnya dengan suara pelan. "Saya harus menemukan apa yang hilang."

Melati merasa ada sesuatu yang sangat familiar tentang wanita itu, meskipun ia tidak tahu mengapa. "Apa yang Anda cari?"

Wanita itu menghela napas panjang. "Ada sesuatu yang hilang di kota ini. Sesuatu yang penting. Saya harus menemukannya."

Melati merasa tertarik dan merasa perlu membantu. "Mungkin saya bisa membantu. Saya baru saja membaca tentang cerita seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan bersama."

Wanita itu menatap Melati dengan tatapan penuh harapan. "Jika Anda bersedia, mungkin kita bisa mencari bersama."

Malam itu, di bawah hujan yang terus menerus, Melati dan wanita misterius itu mulai mencari di lorong-lorong kota. Mereka menjelajahi tempat-tempat yang jarang dikunjungi, mencari petunjuk dan mencoba memahami apa yang mungkin hilang.

Saat fajar menyingsing, mereka akhirnya berhenti di sebuah taman tua yang penuh dengan tanaman liar. Wanita itu berdiri di tengah taman, menatap ke arah sebuah batu besar yang tertutup lumut. "Ini dia," katanya dengan lembut. "Saya merasakannya di sini."

Melati melihat batu itu dengan cermat, lalu memperhatikan bahwa ada ukiran yang samar di permukaan batu. Dengan bantuan wanita itu, mereka membersihkan lumut dan menemukan sebuah ukiran yang menggambarkan dua hati yang saling berpegangan tangan.

Wanita itu menatap ukiran itu dengan penuh haru. "Ini dia. Ini adalah tanda yang saya cari selama ini."

Melati tidak bisa menyembunyikan rasa keingin tahuannya. "Apa arti ukiran ini?"

Wanita itu meneteskan air mata. "Ini adalah tanda cinta yang abadi. Beberapa tahun yang lalu, saya kehilangan seseorang yang sangat saya cintai. Saya berjanji untuk menemukan tanda ini sebagai simbol bahwa cinta kami tidak akan pernah hilang, bahkan setelah semua ini."

Melati merasa terharu mendengar cerita itu. "Saya senang bisa membantu Anda menemukan apa yang hilang."

Wanita itu tersenyum penuh syukur. "Terima kasih. Dengan menemukan tanda ini, saya merasa seolah-olah bisa melanjutkan hidup saya dan melepaskan masa lalu."

Saat hujan mulai reda, Melati dan wanita itu duduk di bawah pohon besar di taman. Mereka berbicara tentang kehidupan, cinta, dan bagaimana setiap orang memiliki cerita mereka sendiri. Melati merasa bahwa kehadirannya di kota kecil ini bukan hanya tentang mencari tempat baru, tetapi juga tentang menemukan makna dari setiap pengalaman.

Hari itu, di bawah sisa hujan yang masih menetes, Melati memahami bahwa terkadang, apa yang kita cari bukan hanya tentang benda atau tempat, tetapi tentang perasaan dan kenangan yang menyentuh hati.

Sumbawa, 6 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun