Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Hilang Yang Tak Pernah Hilang

1 September 2024   09:58 Diperbarui: 1 September 2024   10:36 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Pagi itu, Sinta terbangun dengan perasaan yang aneh. Ada sesuatu di udara yang berbeda, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Suara hujan deras di luar jendela membuatnya enggan untuk bangun, tetapi kewajiban memanggil. Ia menoleh ke arah jam weker di meja samping tempat tidur dan menyadari bahwa ia hampir terlambat. Dengan cepat, ia bangkit dan bergegas menuju kamar mandi.

Air dingin menyentuh kulitnya saat ia mencuci muka, membantu mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Saat ia menatap cermin, ia memperhatikan wajahnya yang tampak lelah. Garis-garis halus mulai terlihat di sekitar matanya, tanda-tanda bahwa waktu terus berjalan tanpa kompromi. Ia menghela napas panjang, lalu bersiap-siap untuk memulai hari.

Sinta dan Arman telah menikah selama delapan tahun. Delapan tahun yang diisi dengan cinta, tawa, dan juga pertengkaran kecil yang selalu bisa mereka atasi. Namun, beberapa bulan terakhir, Sinta merasa ada jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Arman sering pulang larut malam, kadang tanpa alasan yang jelas. Percakapan mereka pun semakin jarang, dan ketika ada, sering kali hanya basa-basi.

Pagi itu, ketika Sinta memasuki dapur, ia mendapati meja makan sudah kosong. Arman biasanya bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sederhana bagi mereka berdua, tetapi kali ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Cangkir kopi kosong yang masih hangat di atas meja menjadi satu-satunya bukti bahwa Arman sudah pergi lebih dulu.

Sinta mencoba menelepon Arman, tetapi tidak ada jawaban. Ia merasa aneh, tetapi mencoba mengabaikan perasaan itu. Mungkin Arman sedang terburu-buru dan lupa mengucapkan selamat tinggal. Lagipula, mereka sudah sering seperti ini akhir-akhir ini. Sinta menyiapkan sarapan cepat untuk dirinya sendiri, lalu segera berangkat kerja.

Di tempat kerja, Sinta berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang menghantuinya. Pekerjaan di kantor cukup menyibukkan, dan ia tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Namun, saat istirahat siang tiba, ia kembali mencoba menghubungi Arman, dan sekali lagi, tidak ada jawaban.

Rasa cemas mulai merayapi hati Sinta. Arman bukan tipe pria yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Meski hubungan mereka sedang tidak dalam kondisi terbaik, Sinta tahu Arman selalu bertanggung jawab dan peduli. Mungkin ia sedang sibuk, pikirnya, berusaha menenangkan diri. Tapi perasaan aneh itu terus bertahan, menyelinap ke dalam pikirannya setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya.

Ketika hari kerja berakhir, Sinta langsung pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan yang tidak menyenangkan. Ia berusaha mengingat percakapan terakhir mereka, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu yang salah yang mungkin telah ia lewatkan. Namun, tak ada yang benar-benar mencolok dalam ingatannya. Hanya percakapan biasa, tentang pekerjaan dan hal-hal kecil di sekitar rumah.

Setibanya di rumah, Sinta langsung memeriksa kamar mereka, berharap menemukan Arman sedang beristirahat. Tetapi kamar itu kosong, sama seperti pagi tadi. Sinta mulai benar-benar cemas. Ia mencoba menelepon beberapa teman dekat Arman, tetapi tak ada yang tahu di mana suaminya berada. Tak ada yang mendengar kabar dari Arman sejak pagi.

Semalaman, Sinta tidak bisa tidur. Ia terus mencoba menelepon Arman, meninggalkan pesan-pesan yang tidak pernah dibalas. Rumah yang biasanya terasa hangat dan nyaman, kini terasa dingin dan sunyi. Setiap suara kecil yang ia dengar, membuatnya terlonjak dengan harapan itu adalah Arman yang pulang. Tetapi pintu depan tetap tertutup, dan malam terus berlalu tanpa jawaban.

Keesokan paginya, setelah malam tanpa tidur, Sinta memutuskan untuk melaporkan hilangnya Arman kepada polisi. Ia membawa foto terbaru suaminya, menjelaskan situasi terakhir ketika ia melihat Arman. Polisi mencatat laporan itu dan berjanji akan melakukan pencarian, meskipun mereka mengingatkan bahwa banyak orang dewasa yang kadang memilih untuk menghilang sementara karena berbagai alasan.

Hari-hari berlalu tanpa kabar apapun. Sinta menjalani hidupnya dalam kabut ketidakpastian. Setiap kali telepon berdering, jantungnya berdebar, berharap itu adalah kabar dari Arman. Namun, setiap kali ia mengangkat telepon, hanya ada suara dari teman atau kerabat yang menanyakan kabarnya, menawarkan dukungan, tetapi tidak membawa jawaban yang ia inginkan.

Seminggu berlalu, dan kemudian dua minggu. Sinta mulai merasakan kehilangan yang semakin dalam. Ia mencoba menjalani rutinitas seperti biasa, tetapi setiap langkah yang ia ambil terasa berat. Rumah yang mereka tinggali bersama selama delapan tahun itu kini terasa kosong dan asing. Barang-barang milik Arman masih ada di tempatnya, tetapi kehadirannya telah lenyap, meninggalkan kehampaan yang tak bisa diisi.

Setiap malam, Sinta duduk di sofa di ruang tamu, menatap pintu depan, berharap pintu itu akan terbuka dan Arman masuk, tersenyum seperti biasanya, menjelaskan bahwa semua ini hanya kesalahpahaman atau kejadian aneh yang bisa dijelaskan. Tapi harapan itu semakin memudar seiring berlalunya waktu.

Suatu malam, ketika hujan deras turun di luar, Sinta memutuskan untuk memeriksa barang-barang pribadi Arman. Mungkin ada petunjuk, sesuatu yang bisa membantunya memahami apa yang terjadi. Ia membuka laci meja kerja Arman, tempat di mana suaminya biasa menyimpan dokumen penting. Di sana, ia menemukan sebuah buku catatan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Dengan tangan gemetar, Sinta membuka buku catatan itu. Halaman pertama berisi catatan singkat, sepertinya pikiran-pikiran pribadi Arman. Ia membaca kata-kata itu dengan seksama, mencoba mencari makna di baliknya. Semakin dalam ia membaca, semakin Sinta merasa ada sesuatu yang salah. Catatan itu penuh dengan kebingungan, seolah-olah Arman sedang berjuang dengan sesuatu yang berat, tetapi tidak bisa atau tidak mau berbicara tentang itu.

Di halaman-halaman berikutnya, tulisan Arman semakin sulit dibaca. Ada frasa-frasa yang terpotong, kalimat-kalimat yang tidak selesai. Sinta menemukan catatan tentang mimpi-mimpi aneh yang Arman alami, mimpi-mimpi yang membuatnya terbangun di tengah malam dengan keringat dingin. Di akhir buku catatan itu, ada satu kalimat yang ditulis dengan huruf besar, hampir seperti teriakan.

"AKU TIDAK BISA LAGI."

Sinta merasa napasnya terhenti saat membaca kalimat itu. Apa yang terjadi pada Arman? Apa yang ia rasakan hingga menuliskan kata-kata seperti itu? Perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Apakah ia telah mengabaikan tanda-tanda yang ada? Apakah Arman telah mencoba mengatakan sesuatu, tetapi ia terlalu sibuk atau terlalu tidak peduli untuk menyadarinya?

Esok harinya, Sinta membawa buku catatan itu ke polisi, berharap itu bisa membantu mereka menemukan petunjuk. Polisi menerima buku itu dengan serius, tetapi mereka juga mengingatkan bahwa tanpa bukti konkret, sulit untuk menentukan apa yang sebenarnya terjadi.

Hari-hari terus berlalu, berubah menjadi minggu, lalu bulan. Sinta mulai kehilangan harapan. Ia merasa seolah-olah hidupnya terhenti pada hari Arman menghilang. Ia mencoba menjalani kehidupan seperti biasa, tetapi segala sesuatu terasa hampa tanpa Arman di sisinya. Bahkan hal-hal kecil yang dulu ia anggap remeh, seperti secangkir kopi di pagi hari atau percakapan ringan sebelum tidur, kini terasa seperti kenangan yang begitu jauh.

Sinta akhirnya memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Terlalu banyak kenangan di sana, terlalu banyak bayangan masa lalu yang menghantui setiap sudut. Ia menjual rumah itu dan memindahkan barang-barang yang masih bisa ia bawa ke apartemen kecil di pusat kota. Di sana, ia mencoba memulai hidup baru, meski bayangan Arman masih terus menghantuinya.

Setahun setelah Arman menghilang, Sinta menerima telepon dari polisi. Mereka telah menemukan sesuatu yang mungkin berkaitan dengan hilangnya Arman. Jantung Sinta berdebar saat ia mendengarkan kabar itu, meski ia tidak tahu apakah harus merasa lega atau semakin cemas.

Polisi mengajak Sinta ke sebuah tempat di luar kota, di sebuah hutan yang terpencil. Di sana, mereka menunjukkan sebuah mobil tua yang tertinggal di bawah pohon-pohon besar. Mobil itu milik Arman. Di dalam mobil, mereka menemukan barang-barang pribadi Arman, termasuk ponselnya yang telah lama mati.

Namun, tak ada tanda-tanda Arman di sekitar mobil itu. Polisi menduga bahwa Arman mungkin sengaja meninggalkan mobilnya di sana dan berjalan kaki menuju entah ke mana. Mereka melakukan pencarian di hutan itu, tetapi hasilnya nihil. Arman seolah-olah menghilang begitu saja di udara.

Sinta kembali ke apartemennya dengan hati yang hancur. Ia tak tahu harus merasa apa. Di satu sisi, ia bersyukur karena akhirnya ada petunjuk tentang Arman, tetapi di sisi lain, petunjuk itu hanya menambah misteri yang sudah menghantuinya selama setahun terakhir. Ke mana Arman pergi? Dan mengapa?

Hari-hari berikutnya berlalu dengan perlahan. Sinta mulai menerima kenyataan bahwa Arman mungkin tidak akan pernah kembali. Kehidupan yang mereka bangun bersama telah berakhir tanpa penjelasan, tanpa kata pisah. Sinta merasa seperti hidup di dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Namun, di tengah semua kesedihan itu, Sinta menemukan kekuatan untuk terus maju. Ia mulai fokus pada pekerjaannya, mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Arman. Ia bergabung dengan kelompok dukungan untuk orang-orang yang mengalami kehilangan, dan di sana ia menemukan orang-orang yang mengerti rasa sakit yang ia rasakan.

Setiap malam, Sinta masih berharap bahwa suatu hari Arman akan kembali, mengetuk pintu apartemennya dan menjelaskan semua yang terjadi. Tetapi seiring berjalannya waktu, harapan itu semakin memudar. Ia tahu bahwa ia harus belajar untuk hidup tanpa Arman, meskipun itu adalah hal yang paling sulit yang pernah ia lakukan.

Hidup terus berjalan, meski dengan luka yang dalam di hati Sinta. Ia belajar menerima bahwa tidak semua pertanyaan akan mendapatkan jawaban, dan tidak semua kisah akan berakhir dengan kepastian. Kadang-kadang, yang tersisa hanyalah kenangan dan bayangan, dan kita harus belajar untuk melanjutkan hidup meskipun dengan kehilangan yang tak terjelaskan.

Dan pada akhirnya, Sinta menyadari bahwa meski Arman hilang tanpa kata pisah, cinta mereka masih tetap ada di dalam hatinya, selamanya menjadi bagian dari siapa dirinya. Ia menemukan kedamaian dalam kenangan, dan meski luka itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya sembuh, Sinta tahu bahwa ia bisa terus hidup, bahkan tanpa jawaban yang pasti.

Sumbawa, 1 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun