Desa Karangjati terletak di kaki Gunung Tidar, sebuah tempat yang dipenuhi mitos dan misteri. Di antara penduduk desa, ada satu aturan yang tak pernah dilanggar: jangan pernah mendekati Hutan Terlarang di bagian barat desa setelah matahari terbenam. Bagi para penduduk, hutan itu adalah tempat yang keramat dan berbahaya. Banyak kisah yang beredar tentang orang-orang yang hilang tanpa jejak setelah masuk ke sana, dan legenda tentang hantu-hantu penghuni hutan terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Namun, bagi beberapa orang, larangan itu justru memicu rasa penasaran yang tak terbendung. Salah satunya adalah Raka, seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru saja kembali ke desa setelah bertahun-tahun merantau di kota. Raka adalah sosok yang selalu skeptis terhadap hal-hal berbau mistis. Selama di kota, ia belajar banyak tentang sains dan logika, membuatnya meragukan cerita-cerita rakyat yang menurutnya hanya takhayul belaka.
"Semua cerita tentang Hutan Terlarang itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak," katanya kepada sahabatnya, Gendis, seorang gadis desa yang sudah ia kenal sejak kecil.
Gendis, yang lebih percaya pada kearifan lokal, menggelengkan kepala. "Kau mungkin tidak percaya, Raka, tapi ada alasan kenapa orang tua kita selalu melarang kita ke sana. Banyak yang telah hilang di hutan itu, dan tidak ada satu pun yang kembali. Hutan itu bukan sekadar tempat biasa."
"Atau mungkin mereka hanya tersesat dan tidak tahu jalan keluar," balas Raka dengan nada bercanda.
Namun, di balik kata-katanya yang seolah meremehkan, Raka menyimpan rasa ingin tahu yang besar. Di rumahnya, ia menemukan sebuah buku catatan tua milik kakeknya yang dulu pernah menjadi kepala desa. Buku itu berisi catatan tentang kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi di desa, termasuk Hutan Terlarang. Ada gambar-gambar dan peta yang mengarah ke sebuah tempat tertentu di dalam hutan, sebuah tempat yang ditandai dengan simbol yang tak dikenalnya.
Malam itu, saat langit dipenuhi bintang, Raka memutuskan untuk memeriksa lebih jauh. Ia membawa peta dari catatan kakeknya dan memasuki hutan meskipun Gendis telah memperingatkannya.
Langkah pertama Raka di hutan itu terasa biasa saja. Namun, semakin dalam ia melangkah, udara di sekitarnya mulai berubah. Suara-suara aneh terdengar samar, seolah-olah ada yang mengikuti dari kejauhan. Namun, Raka tetap melangkah, mengandalkan peta di tangannya.
Setelah beberapa waktu, ia tiba di sebuah tempat yang ditandai di peta. Tempat itu adalah sebuah pusara tua yang tertutup oleh lumut dan akar pohon. Nisan yang berdiri di sana hampir hancur, tapi masih bisa dikenali bahwa itu adalah makam seseorang. Nama yang terukir di batu nisan tersebut membuat darah Raka membeku: "Raka Wijaya".
Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Raka membersihkan lumut di nisan itu dengan tangannya yang gemetar. Nama yang terukir di sana memang benar, nama yang sama dengan namanya sendiri. Raka merasa kepalanya berputar, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal.
Tiba-tiba, udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin, dan kabut tebal mulai menyelimuti tempat itu. Raka merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia mendengar suara-suara lirih, seperti bisikan-bisikan yang mencoba berbicara dengannya. Suara itu terdengar semakin jelas, menyebut namanya berulang kali.