Di sudut kota yang mulai ditinggalkan, terdapat sebuah rumah tua dengan pintu kayu yang tampak kokoh meski dimakan usia. Rumah itu pernah megah, tapi kini hanya menyimpan bayang-bayang masa lalu. Warga sekitar sering berbicara tentang penghuni rumah itu, seorang lelaki tua yang jarang keluar dan dikenal sebagai sosok misterius.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Dimas, yang baru saja pindah ke daerah itu, merasa penasaran dengan cerita-cerita tentang lelaki tua tersebut. Ia memutuskan untuk berkunjung dan mengenal lebih jauh tetangganya. Dengan niat baik, Dimas mengetuk pintu tua itu. Tak lama, pintu terbuka sedikit, dan sepasang mata tajam menyambutnya.
"Selamat sore, Pak. Saya Dimas, tetangga baru di sebelah. Bolehkah saya masuk?" tanya Dimas dengan senyuman.
Lelaki tua itu, yang bernama Pak Rahmat, mengangguk pelan dan membuka pintu lebih lebar. Dimas masuk ke dalam rumah yang ternyata penuh dengan buku-buku tua, lukisan-lukisan usang, dan perabotan antik. Seolah setiap sudut rumah itu menyimpan cerita yang belum terungkap.
Hari-hari berikutnya, Dimas sering mengunjungi Pak Rahmat. Mereka berbincang tentang banyak hal, dari sejarah kota hingga filosofi hidup. Dimas menemukan bahwa Pak Rahmat adalah seorang pensiunan guru sejarah yang memiliki pengetahuan luas dan pengalaman hidup yang kaya. Pak Rahmat bercerita tentang masa-masa sulit saat perang, kehilangan orang-orang yang dicintainya, dan perjuangannya dalam menjalani hidup sendirian.
Namun, ada satu cerita yang selalu ditahan Pak Rahmat, sesuatu yang membuatnya terkadang terdiam lama dan menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Dimas tak pernah mendesak, tapi ia bisa merasakan ada beban berat yang dipikul lelaki tua itu.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur, Dimas mendapati Pak Rahmat duduk di teras rumahnya, menatap langit yang gelap. Ia mendekat dan duduk di samping lelaki tua itu. Tanpa disangka, Pak Rahmat mulai bercerita tentang anaknya yang hilang saat perang. Ia selalu berharap anaknya akan kembali suatu hari, tapi penantian itu tak pernah berujung.
"Setiap hari, aku berharap melihatnya datang melewati pintu tua itu," kata Pak Rahmat dengan suara bergetar. "Tapi hingga kini, harapan itu masih menggantung di udara."
Dimas merasakan kesedihan yang mendalam. Ia memegang tangan Pak Rahmat, mencoba memberikan sedikit penghiburan. Malam itu, mereka berbagi keheningan yang penuh makna, tanpa perlu banyak kata.
Waktu berlalu, dan suatu pagi, Dimas menemukan Pak Rahmat telah tiada. Lelaki tua itu pergi dengan tenang dalam tidurnya. Dimas merasakan kehilangan yang besar, tapi ia juga merasa bersyukur telah mengenal sosok yang begitu bijaksana dan penuh kasih.
Dimas memutuskan untuk merawat rumah tua itu, menjaga kenangan Pak Rahmat tetap hidup. Ia membuka perpustakaan kecil di dalamnya, mengajak anak-anak muda untuk belajar dan membaca. Dalam setiap halaman buku, Dimas merasakan kehadiran Pak Rahmat, mengalir dalam aliran waktu yang tak pernah berhenti.
Rumah tua itu kini menjadi tempat penuh kehidupan dan harapan, meneruskan warisan seorang lelaki yang pernah menunggu dengan sabar di balik pintu tua.
Sumbawa, 28 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H