Mohon tunggu...
Marisa Bikriy Azkiya
Marisa Bikriy Azkiya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bangga menjadi Anak Indonesia :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RSBI dan Kastanisasi Pendidikan

28 Oktober 2014   04:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:29 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan mengejutkan. Ketua MK Mahfud MD dan para hakim lain memutuskan menghilangkan status rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). RSBI dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

MK juga mempertanyakan standar internasional yang menjadi embel-embel sekolah unggulan itu. MK berpendapat, tidak ada standar internasional yang menjadi rujukan. Jadinya, SBI/RSBI mengambang. Lulusan sekolah tersebut tak pelak akan kehilangan jati diri bangsanya. Sehingga pendidikan semacam itu perlahan tapi pasti akan mengkhianati maksud dan semangat tujuan pendidikan nasional.

Salah satu yang diungkap dalam fakta sidang adalah RSBI cenderung menonjolkan kemampuan siswa berbahasa internasional seperti bahasa Inggris. Mahkamah menilai, istilah standar internasional dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas memiliki satu subtansi yang tidak sempit.

Komersialisasi sektor pendidikan semacam RSBI bertentangan dengan prinsip konstitusi. Padahal, jelas, UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 menyebutkan: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jika status sekolah itu dipertahankan, perlakuan berbeda antara sekolah SBI atau RSBI dan sekolah biasa makin terlihat.

Paradoks UU Sisdiknas

Sejak awal pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait RSBI/SBI mengacu Ayat 3 Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ayat tersebut mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimal 1 satuan pendidikan bertaraf internasional. Padahal, implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU yang menyatakan, bahwa setiap warga negara mempunyai hak sama memperoleh pendidikan yang bermutu, dan Ayat 1 Pasal 11 yang menyebutkan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

UU Sisdiknas seolah melegalkan pengkastaan pendidikan, berarti melanggengkan sistem pendidikan zaman kolonial. Bercermin pada sejarah, sesuai Keputusan Raja (Belanda) 25 Sepember 1892, pendidikan rendah bagi anak-anak bumiputera dibagi dua macam. Pertama, sekolah kelas satu, yang pada 1914 menjadi Hollandsch-Inlandsche School (HIS)--sekolah untuk anak-anak tokoh masyarakat, pegawai Pemerintah Hindia Belanda, dan orang-orang bumiputra terhormat lainnya. Kedua, sekolah kelas dua (De Scholen Der Tweede Klasse), untuk anak-anak bumiputera pada umumnya.

Pembedaan sekolah ke dalam kelas-kelas menurut strata sosial menggambarkan kualitas dan biaya pendidikan. Persis dengan penekanan penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar di RSBI/SBI karena pada zaman kolonial bahasa pengantar di sekolah juga dibedakan. Sekolah untuk anak-anak Belanda menggunakan Bahasa Belanda, sedangkan untuk anak-anak bumiputera di desa menggunakan bahasa daerah atau Bahasa Melayu. Sehingga, tidak sepatutnya ada kebijakan negara membeda-bedakan di antara rakyatnya. Kebijakan RSBI dan SBI menabrak dua prinsip dalam pendidikan nasional, yaitu terkait pembiayaan dan kualitas. Dua hal itu menyimbolkan kastanisasi pendidikan.

Pendidikan Berkeadilan

John C Bock dalam EducationandDevelopment:A ConflictMeaning(1992), mengidentifikasi peran pendidikan dengan tiga hal. Pertama, memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Kedua, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial. Ketiga, untuk pemerataan kesempatan dan pendapatan.

Berkaitan dengan peran pendidikan di atas, maka lahirlah dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan sikap modern. Di sini, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap kebersahajaan para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan bangsa.

Sementara itu, paradigma sosialisasi melihat peran pendidikan dalam pembangunan bangsa untuk mengembangkan kompetensi individu. Kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Semakin banyak warga masyarakat memiliki kemampuan, akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peran pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional. Peran pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Peran pendidikan dalam pembangunan bangsa yang bersifat kompleks dan interaktif akan melahirkan paradigma pendidikan sistemik-organik dengan mendasarkan pada doktrin ekspansionisme.

Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekadar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Idealnya, menurut Daoed Joesoef (2012), kastanisasi yang dilakukan RSBI dan SBI dengan sengaja--secara tidak langsung--telah menyiapkan dua jenis pokok warganegara. Kelompok pertama dibuat cerdas begitu rupa hingga kelak bisa menjadi peserta aktif dalam proses pembangunan nasional dengan segala imbalannya. Kelompok kedua disiapkan sekadar menjadi penonton dalam proses pembangunan nasional.

Mengingat hal ini dilakukan oleh sekolah-sekolah pemerintah, berarti pemerintah telah melanggar asas demokrasi pendidikan, yang ukuran pelaksanaannya adalah kenaikan mutu pendidikan yang semakin tinggi untuk jumlah anak didik yang semakin banyak, dan dalam jumlah yang semakin banyak ini terdapat anak-anak dari kalangan keluarga yang tidak berpunya.

*Artikel dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional pada Senin, 14 Januari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun