Matahari pagi bersinar lembut di balik jendela kamar Rani. Suaranya menghangatkan ruangan, tetapi tidak mampu mengusir dingin di hatinya. Pagi itu, dia duduk di tepi tempat tidur dengan ponsel di tangan. Pesan terakhir yang dia kirim pada Raka, tunangannya, masih belum dibalas. Sudah tiga hari berlalu sejak mereka terakhir berbicara.
Rani dan Raka telah menjalin hubungan selama lima tahun. Mereka bertemu di bangku kuliah, saat sama-sama menjadi panitia sebuah acara kampus. Hubungan mereka berkembang perlahan, dari sekadar teman hingga menjadi pasangan yang tak terpisahkan. Dua bulan lalu, Raka melamarnya di depan keluarganya, memberikan janji untuk membangun hidup bersama. Namun, sejak saat itu, Raka berubah.
Rani mencoba menyangkal perubahan itu. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa Raka hanya sibuk dengan pekerjaannya di kota lain. Tetapi, jauh di dalam hati, dia tahu ada sesuatu yang salah.
Hari itu, Rani memutuskan untuk mengunjungi Raka tanpa memberi tahu sebelumnya. Dengan langkah penuh tekad, ia pergi ke apartemen tunangannya. Ketika sampai, dia mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Rani mencoba membuka pintu dengan kunci cadangan yang diberikan Raka beberapa bulan lalu.
Saat pintu terbuka, Rani melihat sesuatu yang menghancurkan hatinya. Di meja ruang tamu, ada dua cangkir kopi dan piring-piring bekas sarapan untuk dua orang. Sebuah syal merah milik wanita tergeletak di sofa. Hatinya mulai sesak, tetapi dia tetap melangkah masuk.
Raka keluar dari kamar dengan ekspresi kaget. "Rani? Kenapa kamu di sini?"
"Aku ingin bertemu," jawab Rani, suaranya bergetar. "Tapi sepertinya aku datang di waktu yang salah."
Raka diam, matanya menghindari tatapan Rani. Dalam keheningan itu, seorang wanita muncul dari kamar. Dia mengenakan kaus longgar milik Raka.
Rani terdiam. Dunia seolah berhenti berputar. Hatinya remuk, seakan-akan dihantam ribuan pecahan kaca. "Jadi, ini alasanmu berubah?" tanyanya dengan suara serak.
"Rani, aku bisa jelaskan," kata Raka panik.
"Tidak perlu. Penjelasanmu tidak akan mengubah apa pun," jawab Rani dengan dingin. Ia berbalik, meninggalkan apartemen itu dengan langkah cepat.
Sepanjang perjalanan pulang, air mata terus mengalir di pipi Rani. Kenangan indah mereka berdua kini terasa seperti duri yang menusuk hatinya. Dia merasa dikhianati oleh orang yang paling dia percayai.
Hari-hari berikutnya terasa seperti neraka bagi Rani. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya selalu kembali pada Raka. Pesan dan panggilan dari Raka terus berdatangan, tetapi Rani tidak pernah membalas. Dia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki luka di hatinya.
Hingga suatu hari, Rani memutuskan untuk pergi ke pantai yang sering mereka kunjungi bersama. Pantai itu adalah tempat di mana mereka pernah bermimpi tentang masa depan. Kali ini, Rani datang sendirian. Dia duduk di atas pasir, memandangi ombak yang berdebur di kejauhan.
Di sana, Rani menyadari sesuatu. Kecewa memang menyakitkan, tetapi dia tidak ingin terus tenggelam dalam rasa sakit itu. Hidupnya terlalu berharga untuk dihabiskan dengan meratapi seseorang yang tidak menghargainya.
Dengan perlahan, Rani mulai bangkit. Dia belajar untuk memaafkan, bukan demi Raka, tetapi demi dirinya sendiri. Dia tahu, memaafkan adalah langkah pertama untuk melanjutkan hidup.
Rani meninggalkan pantai itu dengan hati yang lebih ringan. Dia tahu, perjalanan untuk pulih tidak akan mudah. Tetapi dia yakin, suatu hari nanti, dia akan menemukan kebahagiaan yang layak untuknya.
Kekecewaan itu, meski pahit, telah mengajarkan Rani untuk lebih mencintai dirinya sendiri. Sebab, di balik setiap luka, selalu ada pelajaran yang membuat kita lebih kuat.
Sumbawa, 13 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H