Mohon tunggu...
MARISA FITRI
MARISA FITRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya suka menciptakan karya sastra yang memiliki nilai moral seperti cerpen, puisi, diary dan karya sastra lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Embun Penenang Sesaat

21 Desember 2024   20:31 Diperbarui: 21 Desember 2024   20:31 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dini hari selalu menghadirkan ketenangan yang berbeda bagi Aini. Udara dingin yang merasuk hingga tulang, aroma tanah basah, dan suara jangkrik yang sesekali terdengar di sela-sela keheningan. Setiap kali, ia duduk di depan jendela kecil kamarnya, menatap embun yang perlahan mengendap di dedaunan.

Namun pagi itu berbeda. Embun di luar jendela seolah tidak cukup menenangkan hati yang berkecamuk. Sudah lima bulan berlalu sejak tragedi itu, tetapi rasa sesak masih menghimpit seperti kemarin.

Aini memejamkan mata, berharap suara desahan angin dan detak jam tua di sudut ruangan bisa mengusir bayangan malam itu. Namun, seperti biasa, semua kembali seperti film yang diputar ulang: mobil hitam, kilauan lampu jalan, dan jeritan terakhir yang menggema dalam pikirannya.

Kafe kecil di ujung jalan menjadi tempat favorit Aini dan Hana. Setiap Sabtu sore, mereka bertemu di sana untuk mengobrol, berbagi cerita, atau sekadar menikmati segelas cokelat panas. Hana selalu membawa buku catatan kecilnya---tempat ia mencurahkan mimpi-mimpi yang ingin dicapainya.

"Aku ingin pergi ke pegunungan Alpen," ujar Hana suatu sore, sambil menggambar puncak-puncak bersalju di buku catatannya.

Aini tertawa kecil. "Jangan lupa ajak aku. Aku juga ingin lihat salju."

"Tentu saja! Kau tidak akan kubiarkan ketinggalan."

Tapi mimpi itu kini hanya tersimpan di lembaran kertas, bersama dengan nama Hana yang tidak lagi bisa dipanggil.

Hana adalah tipe yang selalu hati-hati, tapi malam itu semuanya di luar kendali. Aini mengingat suara ponsel yang berdering di tengah malam, suara asing dari seseorang yang mengatakan bahwa Hana telah mengalami kecelakaan.

"Aini, kami sudah berusaha semampu kami," kata dokter di rumah sakit malam itu. Tapi kalimat itu tidak pernah sampai ke telinganya sepenuhnya. Hanya ada suara kosong dan wajah Hana yang tampak damai, meskipun tubuhnya tidak lagi bergerak.

Lima bulan berlalu, dan Aini merasa terjebak di antara keinginan untuk melupakan dan kebutuhan untuk mengingat. Setiap pagi, embun menjadi teman setianya. Ia selalu membayangkan Hana berdiri di sisinya, menunjuk dedaunan dan berkata, "Lihat, embun itu seperti kita. Hanya sementara, tapi menenangkan."

Kata-kata Hana benar, embun memang sementara. Tetapi, bagi Aini, setiap tetes embun yang ia lihat adalah pengingat bahwa ada hal-hal indah yang bisa muncul bahkan di saat-saat terdingin.

Satu pagi, saat Aini sedang merapikan kamar, ia menemukan sesuatu yang terselip di antara buku-buku: sebuah amplop kecil dengan tulisan tangan Hana.

"Untuk Aini," begitu tulisannya.

Dengan tangan gemetar, Aini membuka amplop itu. Di dalamnya ada surat singkat.

Aini, kalau kau menemukan surat ini, mungkin aku sudah tidak di dekatmu lagi. Tapi ingatlah, aku selalu percaya kau kuat. Seperti embun, kau akan menemukan caramu untuk hadir di dunia ini dengan cara yang menenangkan. Jangan takut untuk melangkah. Aku menyayangimu.

Air mata Aini jatuh tanpa henti, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa lega. Kata-kata Hana seolah menjadi penenang yang ia butuhkan.

Hari itu, Aini keluar rumah lebih pagi dari biasanya. Ia berjalan menuju taman di dekat rumah, tempat ia dan Hana sering bermain saat kecil. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, merasakan embun pagi di ujung jemarinya.

"Aku akan mencoba, Hana," bisiknya.

Embun itu memang hanya sesaat, tetapi kehadirannya cukup untuk mengingatkan Aini bahwa setiap awal yang baru akan membawa ketenangan yang lain.

Sumbawa, 21 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun