Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salasatu provinsi kepulauan di Indonesia, dengan bentangan wilayah seluas 48.718, 10 km2 dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 5.456.203 jiwa (BPS 2018). Provinsi ini juga memiliki 1.192 pulau, yang sudah bernama sebanyak 432, sisanya 760 yang belum diberi nama, dan memiliki 3 pulau terbesar diantaranya, Pulau Flores, Pulau Sumba, dan Pulau Timor (Timor barat).Â
Tak berehenti disitu, NTT juga memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat berpotensi dan tak kalah jauh dengan provinsi lain. Ada beberapa sektor unggulan yang sangat potensional di daerah ini yakni, sektor pariwisata, peternakan, pertanian, perikanan dan pertambangan. Terkhususnya di sektor pariwisata dan peternakan, jika dibandingan dengan 33 provinsi yang ada di Indonesia, maka yang berada diatas skala akan perkembangan atau keunggulannya adalah provinsi Nusa Tenggara Timur. Inipun jika lembaga pemerintah dan pihak masyarakat sadar betul dan  mampu mengelolanya secara efisien. Â
Sektor pariwisata di daerah ini memiliki banyak objek wisata yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, mulai dari wisata religi, wisata alam, wisata bahari, dan wisata budaya. Begitupun dengan sektor peternakan, walaupun NTT lebih dominan akan kawasan lahan kering, akan tetapi provinsi ini pernah tercatat sebagai provinsi  pemasok sapi potong dengan tingkat populasi ternak (ruminansia) atau sebagai lumbung ternak terbesar di Indonesia pada era 90-an silam sebelum terjadinya penyerangan hama terhadap tanaman pakan terkhususnya pada tumbuhan lamtoro (Leucaena glauca) yang berakhir musnah.Â
Akan tetapi, saat ini keadaan telah berbalik seperti sediakala setelah para akademisi dari fakultas peternakan Universitas Nusa Cendana mengembang biakan lamtoro terambah atau yang dikenal dengan amarasi system. Populasi sapi di NTT pada tahun 2018 telah mencapai satu juta ekor. Padahal diawal tahun 2008 sekitar 450 ribu ekor lalu awal 2013 baru 600 ekor. Selain itu juga pengeluaran sapi juga bertambah  dimana pada periode 2008-2013, pengeluaran ternak 270 rubu ekor, dan periode 2013-2017 sudah mencapai 340 ribu, tahun 2018 bertambah menjadi 69 ribu sampai 70 ribu ekor sapi sehinga bisa mencapai 400 ribu ekor.Â
Disini terdapat perkembangan tingkat produktivitas kurang lebih mencapai 860 ribu di akhir tahun 2016 dan pada akhir tahun 2018 telah mencapai target yang diharapkan pemerintah provinsi sebesar satu juta ekor sapi. Tetapi, demi meningkatkan populaasi ternak sapi perlu didorong pada sejuamlah darrah yang berpotensi akan pengembangan sektor peternakan seperti, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Belu, Malaka, Rote Ndao, dan Sumba Timur.
Di daerah potensial ini, pemerintah perluh mendorong dan mengawasi masyarakat agar peningkatan produktivitas sapi melalui penguatan pakan, penyiapan indukan, dan percepatan masa produksi bisa dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan, mayoritas peternak yang memelihara sapi hanya untuk dijual kembali disaat lagi terdesak akan kebutuhan rumah tangga, tetapi tidak untuk dikembang biakan menjadi besar dan memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat itu sendiri. Pemerintah juga harus mendorong program kemitraan oleh pelaku usaha dengan para peternak. Dengan program kemitraan yang baik, rantai distribusi pun menjadi semakin rapi sehingga biaya distribusi dapat ditekan. Dengan demikian, harga di tingkat konsumen menjadi terjangkau.
Namun disayangkan, kedua sektor ini tak mampu di urus secara efektif oleh lembaga pemerintah. Padahal sektor tersebut menjadi acuan sebagai pendongkrak ekonomi masyrakat NTT agar keluar dari zona kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, dan rendahnya inflansi. Dikarenakan pengentasan kemiskinan akan mampu berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan diimbangi dengan kebijakan redistribusi pendapatan, aset, kekayaan serta keterampilan yang akan membawa pada kondisi distribusi yang lebih merata (Bourguignon 2004). Pertumbuhan ekonomi yang memberikan dampak terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh komposisi pertumbuhan sektoral. Pertumbuhan pada sektor ekonomi dimana penduduk miskin terkonsentrasi akan memberikan dampak pengurangan kemiskinan yang lebih besar daripada pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Ames et al 2001).
Provinsi NTT hingga saat ini masih berada dalam pusaran provinsi termiskin ke-3 di Indonesia, dengan angka kemiskinan sebesar 21,35% sedangkan laju pertumbuhan ekonomi di bulan April 2019 masih berada dalam tataran 0,51% (BPS). Ironinya dalam skala nasional  provinsi NTT bukan saja berada  dalam garis kemiskinan, namun NTT termasuk dalam kordon provinsi terkorup ke-4 setelah Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Jawa Barat. Tentu saja ini menjadi PR (Pekerjaan Rumah) tersendiri yang harus di selesaikan oleh gubernur dan para kepala daerah dalam merekrontruksi dan menangani roda pemerintahan guna mengeluarkan NTT dari hal "bobrok" ini, yakni korupsi itu sendiri.
Sebagai masyarakat NTT, tentu saja tak ada yang bisa disangkal, karena ini merupakan realita yang kini bersarang dalam tubuh flobamora. Padahal rahim flobamora telah melahirkan begitu banyak kaum intelektual yang berkiprah disegala bidang  pengetahuan dan lingkup kerja praktis. Namun apakah pemimpin daerah provinsi hingga kabupaten, menturut sertakan mereka dalam pelbagai pembangunan atau malah sebaliknya?Intelektual disini yang dimaksudkan, bukan saja soal pemahaman akan ilmu pengetahuan tetapi, kekonsistenan atau ketekunan dalam mengenai bidang yang dijalani dan diselaraskan dengan kepribadaian yang baik dan juga tanggung jawab yang mumpuni. Jika toh mereka ini di lululantahkan dan diabaikan oleh lembaga pemerintah, maka "sayonaralah" daerah yang terkenal dengan komoditi Varanus Komodeonsis (Komodo).
Nusa Tenggara Timur saya ibaratkan layaknya perawan desa. Mengapa demikian? Namun sebelumnya patut diketahui bahwa, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) perawan artinya, perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki. Sedangkan desa artinya, kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa). Jika kedua kata ini disinkronkan maka, tak ada ketersinambungan sedikitpun dengan situasi NTT hari ini. Oleh karena itu, penulis mengeluarkan sebuah hipotesis baru yang sarat makna dengan perawan desa yang dimaksud.Â
Jadi, provinsi NTT disandingkan dengan "perawan desa" yang artinya, daerah ini masih menyimpan begitu melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) di berbagai sektor yang murnih nan jernih, masih terjaga secara alamiah dan belum dibongkar atau tersentuh sama sekali kearifannya. Akan tetapi, belakangan ini dibawah kepemimpinannya Viktor Liskodat selaku gubernur NTT patut diapreasiasi, karena, secara perlahan Ia telah membuka sekaligus mewartakan sumber daya yang terselebung itu.Â
Namun, implementasinya kelihatan sekali hanya sebatas "mengelus" atau menghimbau dengan mengeluarkan berbagai macam kebijakan, hanya saja output dari kebijakan tersebut belum merujuk ke tahap "pembongkaran" atau eksekusi. Hal ini sangat nampak, misalkan, kebijakan pelegalan miras dan berkeinginan untuk memproduksi miras spesial dari NTT yang diberi nama sophia. Tapi hingga hari ini pun, "wajah si sophia" belum nampak di permukaan. Kemudian program english day yang pernah booming seisi jagad nusantara terkhususnya dikalangan pengguna media sosial, hingga ada yang bertanya "apakah para penjual sirih pinang di pasar inpres naikoten pun setiap hari rabu diwajibkan berkomunikasi menggunakan bahasa ingris?"Â
Rupanya masih simpang siur implementasi akan kebijakan english day. Seharusnya kebijakan ini lebih ditekankan kepada lingkup akademik, mulai dari tiSngkatan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Yang di targetkan oleh Viktor Laiskodat untuk menjadikan NTT sebagai salasatu ikon daerah pariwisata di Indonesia ternyata hanya sebatas statmen. Belum ada hawa yang dirasakan sama sekali oleh masyarakat.Â
Di tahun 2018 lalu ia pernah berjanji akan melakukan perlawanan terhadap mafia human trafficking dengan melakukan moratorium pengiriman TKI. gubernur sekejab memulainya dengan menghentikan kepala dinas tenaga kerja dan trasmigrasi. Tentu saja ini adalah upaya yang sangat ageresif. Nampaknya setelah beberapa bulan kemudian, janji moratorium yang paling mendapat atensi publik, sirnah begitu saja tanpa adanya sebab dan akibat.
Disisi lain perlu kita maklumi dimana, masa kepemimpinannya Viktor Laiskodat dan Johanes Naisoi belum setahun menjabat dan masih memiliki waktu yang lumayan lama, kurang lebih 4 tahun. Yang artinya, hari ini kinerja dan staretegi ataupun juknis yang bakal diimplementasi masih pada tahapan konsultatif belum pada personalia atau eksekusi dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Namun saja yang diharapkan oleh masyarakat adalah keterfokusan atau kekonsistenan dalam menyelesaikan suatu problema yang ada, agar nuansa pembangunan tak kelihatan begitu carut marut bagai suasana pasar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H