Mohon tunggu...
Mario Sutantoputra
Mario Sutantoputra Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat; Konsultan Hukum, alumnus program pasca sarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer

Pemerhati Hukum Militer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KPK dan Perkara Koneksitas

24 Juli 2024   19:29 Diperbarui: 24 Juli 2024   19:30 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Menarik mencermati uji materi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ('UU KPK') dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ('KUHAP") yang terdaftar dengan Nomor register perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik. Uji materi tersebut intinya adalah pengujian atas frasa kata "mengkoordinasikan dan mengendalikan" pada ketentuan Pasal 42 UU KPK dan beberapa frasa kata pada KUHAP. 

Hal tersebut diajukan oleh Pemohon uji materi mengingat menurut Pemohon, kewenangan penyidik dan penuntut pada KPK dalam lembaga peradilan koneksitas belum disebutkan dalam ketentuan yang berlaku saat ini khususnya KUHAP.  Hingaa saat ini perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota TNI yang ditangani KPK, perkaranya diadili secara terpisah (splitsing).

 Kewenangan KPK Terhadap Militer

KPK berdasarkan Pasal 42 UU KPK mempunyai kewenangan dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Namun demikian ketentuan ini tidak serta merta dapat diterapkan ketika melakukan pemeriksaan terhadap anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, mengingat pihak yang dapat melakukan pemeriksaan, penangkapan dan penahanan terhadap anggota TNI hanyalah dapat dilakukan oleh Ankum, Polisi Militer dan Oditur (Vide Pasal 69 ayat 1 Jo. Pasal 1 angka 11 UU Peradilan Militer).  Penyimpangan mana hanya mungkin terjadi ketika misalnya terdapat OTT dan ketika dilakukan penangkapan baru diketahui ternyata yang bersangkutan merupakan anggota TNI, di mana KPK hanya dapat mengamankannya dan segera berkoordinasi dengan POM TNI. Kewenangan atribusi yang dimiliki oleh KPK berdasarkan UU tentunya harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku bagi anggota TNI yakni UU Peradilan Militer.

Isu Terkait Kedudukan Jaksa Agung.

Sekalipun secara atribusi KPK diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan koordinasi dan pengendalian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Namun demikian dalam uji materi tersebut menurut penulis terdapat beberapa isu sentral yang akan menjadi perdebatan terkait kedudukan Jaksa Agung khususnya asas single prosecution system dan asas dominus litis.

Kedudukan Jaksa Agung sebagai satu-satunya pengendali penuntutan berdasarkan asas single prosecution system menempatkan Jaksa Agung sebagai penuntut tertinggi di Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam Pasal  18 ayat (1) UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ['UU Kejaksaan']. Berdasarkan asas delegasi kewenangan menuntut, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berwenang untuk mendelegasikan kewenangan menuntut kepada siapapun yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Asas mana tertuang pada Pasal 35 ayat (1) huruf I dan J UU Kejaksaan yang menyatakan "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada oditur jenderal untuk melakukan penuntutan dan mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan". Pasal 35 ayat (1) huruf I  tersebut merupakan penegasan dari Pasal 57 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 57 UU Peradilan Militer menyatakan "Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima". 

Ketentuan tersebut selaras pula dengan ketentuan Pasal 39 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Hal mana semakin menegaskan akan sistem single prosecution system, di mana tidak ada lembaga lain yang berhak melakukan penuntutan kecuali di bawah kendali dari Jaksa Agung.

Jaksa selaku penuntut umum untuk melakukan penuntutan mendapatkan delegasi kewenangan dari Jaksa Agung. Pelaksanaan kekuasaan penuntutan oleh  Kejaksaan dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang merupakan satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar). Penuntut umum untuk melaksanakan penuntutan mendapatkan surat perintah tugas dari atasannya yang tentunya kewenangan tersebut berasal dari Jaksa Agung. Di mana untuk tingkat untuk tingkat Kejaksaan Agung dilakukan oleh Jaksa Agung Muda, pada tingkat Kejati diberikan oleh Kajati dan untuk tingkat Kejari diberikan oleh Kajari. 

Hal tersebut didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: UU Kejaksaan, Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan juga Keputusan Jaksa Agung tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Selain asas di atas juga terdapat asas dominus litis, di mana jaksa adalah pihak yang mempunyai kepentingan yang nyata dalam suatu perkara sehingga mempunyai kewenangan untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara diajukan ke persidangan. Hal mana tertuang pada Pasal 1 (6 a dan b) KUHAP yang menegaskan hanya jaksa yang dapat bertindak selaku penuntut umum dan melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Beberapa negara yang menerapkan asas dominus litis secara ketat antara lain: Belanda, Jerman, Norwegia, Jepang, Korea Selatan dan Myanmar.

Menarik pula untuk melihat praktik penuntutan pada negara lain yang memiliki lembaga seperti KPK yakni Independent Commision Against Corruption (ICAC) di Hongkong,  Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC) di Malaysia dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura. ICAC hanya mempunyai kewenangan melakukan penyidikan dan bahkan untuk meningkatkan tahapan penyelidikan menjadi penyidikan pun memerlukan persetujuan dari Jaksa Agung. 

Demikian pula MACC  yang memiliki divisi penuntutan namun dalam melakukan penuntutan memerlukan persetujuan dari Jaksa Agung. Pada CPIB kewenangan untuk melakukan penyidikan ini tidak serta merta dapat dilakukan oleh CPIB melainkan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.

Penutup

Terkait  kewenangan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, masih menjadi 'ganjalan' khususnya terkait kewenangan Jaksa Agung berdasarkan asas dominus litis dan Single Prosecution System, di mana terdapat lembaga lain selain Kejaksaan, yaitu KPK yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan terkait tindak pidana korupsi. KPK berdasarkan kewenangan atribusinya berwenang untuk melakukan penuntutan namun demikian hal tersebut tidak dapat berjalan apabila belum dilakukan perubahan dalam KUHAP terkait definisi penyidik dan penuntut dalam KUHAP agar termasuk pula penyidik dan penuntut pada KPK. 

Menarik mencermati Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Jaksa Agung dan Panglima TNI (No. 2196,240,1135) Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Tetap Untuk Penyidikan Perkara Koneksitas, menurut hemat Penulis pada Pasal 1 angka (4) dan (5)nya secara definsi telah mengakomodir pula penyidik dan jaksa pada KPK. 

Namun demikian sepanjang belum dilakukan perubahan dalam KUHAP tentunya KPK belum dapat menangani perkara koneksitas, selain itu KPK perlu 'berkomunikasi' dan berdiskusi dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini Jaksa Agung, Oditur Jenderal, Panglima TNI dan Menteri Pertahanan agar nantinya perkara koneksitas dapat juga ditangani oleh KPK tanpa adanya hambatan teknis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun