Segera setelah itu, dia langsung menyuruh saya naik motor dan duduk di belakang dia. Dengan segera saya lalu melepaskan earphone dari telinga saya.
Selain menampakan diri sebagai seorang yang sederhana, motornya juga sederhana. Tampaknya motor yang dipakainya itu sudah punya jam terbang tinggi dalam hal pelayanan terhadap pemiliknya. Motor itu tampak tidak dipakai untuk bergaya-gayaan demi menaikan status sosial. Lebih dari sekadar itu, motor tersebut dipakai untuk menyambung hidup.
"Bapa mau pi mana?", saya mencoba membuka percakapan di atas motor dan mencoba untuk mengakrabkan diri dengan pria yang menawarkan bantuan tanpa pamrih itu.
"Mau pi pasar. Pasar Oeba", demikian jawabannya singkat tetapi menjawab apa yang saya tanyakan.
"Pi jual ko bapa?", saya mencoba menerka karena tujuannya adalah pasar.
"Iya. Saya mau ke sana. Setiap pagi saya harus ke pasar", jawab bapak itu.
Hanya itu saja percakapan yang bisa terjadi di atas motor. Saya bukannya tidak ingin bicara lebih lebar dengan bapak penawar tumpangan ini, melainkan karena memang kampus sudah dekat. Sebab ketika saya berjalan kaki, kampus sudah sangat dekat. Tapi, tumpangan itu sangat lumayan karena kendati kampus sudah dekat, jalan yang saya lalui adalah mendaki. Jadi, dengan senang hati saya menerima tumpangan itu.
"Saya turun di sini bapa", kata saya sambil menunjuk gerbang kampus.
"Ooo, turun di sini ko? Saya pikir kampus masih di atas lagi", katanya dengan nada yang agak terkejut karena barangkali dia tidak tahu letak kampus tempat saya kuliah.
"Iya bapa. Di dalam dini ada kampus juga. Baik bapa, terima kasih banyak. Hati-hati".
Itulah kata-kata terakhir yang saya bisa ucapkan lewat mulut. Tetapi dalam hati, saya mengatakan "Tuhan memberkati bapak" karena kebaikan hati yang bapak itu tawarkan kepada saya. Sebuah bantuan yang tanpa pamrih.