Manusia, bila dilihat secara sosial, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Memang ada individu-individu. Namun, individu-individu itu tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Mengikuti pepatah Inggris kuno, No man is an island, tak ada seorang pun yang dapat hidup sendiri di sebuah pulau. Karena tak bisa hidup sendirian, maka manusia harus hidup bersama. Karena hidup bersama itu adalah kodrat manusia.
Di sinilah terjadi hubungan timbal balik yang saling membangun maupun proses gesekan atau benturan antarindividu. Ini yang sering disebut sebagai interaksi sosial. Dalam proses interaksi ini, ditemukan hubungan saling mempengaruhi satu terhadap yang lain, entah individu dengan individu; individu dengan kelompok; kelompok dengan individu; entah kelompok dengan kelompok. Tak bisa dipungkiri, tendensi individu adalah hidup bersama, menjadi satu dengan yang lainnya.
Ada sebuah istilah terkenal dalam khazanah pemikiran Buddhisme, yakni interbeing. Penjelasan interbeing diambil dari Avatamsaka Sutra. Term interbeing sendiri tidak terdapat dalam kamus bahasa Inggris maupun bahasa Prancis. Istilah ini dapat diartikan sebagai hubungan keterikatan dan keterkaitan antara satu elemen dengan elemen yang lain.
Menarik bila kita mendengar kata-kata dari Alice A. Keefe dalam tulisannya, Visions of Interconnectedness in Engaged Buddhism and Feminist Theology: "[...] kita tidak dapat membangkitkan hal-hal yang hanya mengarah pada pulau ketenangan pribadi, karena kita bukan pulau. Semua kita saling terjalin erat dengan masyarakat, dan dengan penderitaan yang sedang menyelimuti masyarakat" (Keefe, 1997:64)
Maka, interbeing itu adalah keterhubungan satu sama lain dan tidak ada sesuatupun yang dapat berdiri sendiri. Istilahnya, tidak lagi ada "aku", melainkan yang ada hanya "kita".
Konsep interbeing terbangun dalam faktor-faktor keterhubungan satu sama lain. Misalnya, eksistensi aku di tengah dunia rupanya dipengaruhi oleh faktor-faktor non-aku.
Maka, aku tidak berdiri sendiri di tengah dunia ini. Adanya aku adalah karena ada yang lain. Aku tidak menjadi diriku saat ini karena diriku, melainkan karena ada yang lain selain aku. Aku ada karena kamu, dia, mereka dan yang lain juga ada. Aku ada karena bapa, mama, kakak dan adikku ada. Juga karena tetanggaku, teman-temanku ada.
Tak bisa dipungkiri juga karena ada tanaman-tanaman dan binatang-binatang ada di alam. Dengan mereka inilah aku terhubung. Inilah yang membuat aku hadir, bereksistensi dan bertumbuh bersama dengan yang lain.
Thich Nhat Hanh pernah menjelaskannya demikian dalam bukunya, Being Peace: "We have talked about the many in the one, and the one containing the many. In one sheet of paper, we see everything else, the cloud, the forest, the logger. I am, therefore you are. You are, therefore I am. That is the meaning of the word "interbeing." We interare (Thich Nhat Hanh, 88).
Dalam arti tertentu, dari interbeing, tidak ada yang dapat disebut "dua". Semua adalah "satu", termasuk satu (menyatu) dengan tumbuhan dan hewan. Maka, kekerasan yang dilakukan oleh seseorang merupakan kekerasan terhadap semua makhluk (yang walaupun tidak secara langsung dikenai tindakan kekerasan), juga termasuk menyakiti dirinya sendiri.