Mohon tunggu...
Abi Wihan
Abi Wihan Mohon Tunggu... Guru - Teacher

A Great Teacher is Inspiring

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ambisi Mengangkat, Obsesi Menjerat

31 Desember 2024   16:27 Diperbarui: 31 Desember 2024   16:27 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambisi Mengangkat, Obsesi Menjerat


Memilih Jalan yang Sehat Menuju Tujuan

Jangan pernah takut memiliki ambisi besar, tetapi pastikan ambisimu tidak berubah menjadi obsesi yang merenggut kebahagiaanmu. Nikmati prosesnya, hargai setiap langkah, dan selalu utamakan keseimbangan dalam hidup.

Ambisi mengarahkanmu ke puncak, obsesi menjeratmu di lembah. Pilihlah jalan yang memberdayakan, bukan yang membebani

Setiap individu memiliki tujuan dalam hidup, entah itu karier yang gemilang, hubungan yang harmonis, atau pencapaian pribadi yang membanggakan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sering kali kita didorong oleh dua hal: ambisi dan obsesi. Meski terlihat serupa, keduanya memiliki dampak yang sangat berbeda pada kehidupan kita.

Ambisi sebagai Kekuatan Positif

Ambisi adalah bahan bakar yang mendorong seseorang untuk terus maju. Ia memberikan arah yang jelas, energi yang besar, dan optimisme yang sehat. Ambisi sering kali lahir dari keinginan tulus untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai contoh, seseorang yang bercita-cita menjadi pemimpin perusahaan mungkin akan mengembangkan keterampilan manajemen, memperluas jaringan, dan bekerja keras untuk mewujudkan tujuannya. Ambisi seperti ini tidak hanya memberi manfaat bagi individu, tetapi juga lingkungan di sekitarnya.

Obsesi: Ketika Tujuan Menjadi Beban

Sebaliknya, obsesi sering kali menjadi jerat yang tak terlihat. Obsesi membuat seseorang terlalu fokus pada satu hal hingga mengabaikan aspek penting lainnya dalam hidup. Misalnya, seseorang yang terlalu terobsesi pada kesempurnaan pekerjaannya mungkin merasa cemas, stres, atau bahkan kelelahan, karena ia tidak pernah merasa cukup baik. Obsesi tidak memberikan ruang bagi kesalahan atau refleksi, sehingga lebih sering merugikan daripada membantu.

Apakah Obsesi Selalu Buruk?

Ada pandangan yang menyatakan bahwa obsesi, dalam kadar tertentu, justru dapat menjadi pendorong utama kesuksesan. Beberapa tokoh besar dalam sejarah, seperti Steve Jobs atau Elon Musk, dikenal karena obsesinya terhadap visi mereka. Mereka tidak hanya bekerja keras, tetapi juga memiliki fokus berlebihan pada detail yang sering kali dianggap tidak penting oleh orang lain. Namun, apakah keberhasilan mereka membenarkan dampak negatif obsesi pada kesehatan mental atau kehidupan pribadi mereka? Dalam banyak kasus, obsesi ini merenggut hubungan pribadi, menyebabkan stres berkepanjangan, dan menciptakan tekanan yang luar biasa. Apakah kita rela menukar kebahagiaan kita untuk kesuksesan semacam itu?

Budaya Toxic Productivity: Ambisi atau Obsesi?

Di era modern, obsesi sering kali disamarkan sebagai ambisi melalui fenomena "toxic productivity." Media sosial penuh dengan konten yang memuji kerja keras tanpa henti sebagai jalan menuju sukses. Ungkapan seperti "tidur adalah untuk orang lemah" atau "kerja keras mengalahkan segalanya" menjadi mantra banyak orang. Tetapi, apakah ini benar-benar ambisi sehat, atau hanya obsesi kolektif yang mengorbankan kesehatan mental dan keseimbangan hidup? Kita sering kali terjebak dalam tekanan sosial untuk terus produktif, hingga kehilangan arti sebenarnya dari ambisi, yaitu pertumbuhan yang seimbang dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun