Sindiran di Balik Meja Kantor
Di ruangan kantor yang tak terlalu luas, Rina duduk sambil mengetik di komputer, sesekali menghela napas panjang. Sejak beberapa bulan terakhir, suasana di kantor berubah. Bukan karena pekerjaan yang bertambah banyak, melainkan karena kehadiran sosok rekan kerja yang selalu membuat hatinya gusar: Nita.
Nita dikenal sebagai karyawan yang cerdas dan cekatan, tetapi sayangnya ia memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka menyindir. Sindirannya sering kali dilontarkan dengan senyum kecil yang tampak manis, tetapi tajam seperti sembilu. Rina, entah kenapa, menjadi salah satu target favoritnya.
"Bagus, ya. Ada yang bisa santai-santai sambil menyeruput kopi, sementara yang lain bekerja sampai larut malam," ujar Nita suatu pagi, tepat ketika Rina baru saja tiba di kantor.
Rina hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya mendidih. Ia tahu sindiran itu ditujukan padanya. Padahal, kemarin ia lembur sampai pukul sembilan malam untuk menyelesaikan laporan bulanan.
Di lain waktu, sindiran Nita kembali muncul. Ketika Rina mendapat pujian dari manajer karena hasil presentasinya yang memukau, Nita berkata, "Wah, luar biasa, ya. Kalau semua dikerjakan dengan tim yang membantu, siapa pun pasti bisa berhasil." Kalimat itu membuat suasana yang semula ceria menjadi sedikit tegang.
Awalnya, Rina memilih untuk diam. Ia berpikir, mungkin Nita hanya bercanda atau sedang dalam suasana hati yang buruk. Namun, semakin lama, sindiran itu semakin sering muncul. Tak hanya menyakitkan, tetapi juga membuat Rina merasa tidak percaya diri. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri.
"Sampai kapan aku harus begini?" Rina merenung suatu malam. Ia berbicara dengan suaminya yang mencoba memberikan dukungan. "Kamu harus bicara, Rin. Kalau dibiarkan, situasinya tidak akan berubah," ujar suaminya, meyakinkan.
Malam itu, Rina bertekad untuk menghadapi Nita dengan cara yang bijaksana.
Keesokan harinya, Rina menunggu waktu yang tepat untuk mengajak Nita bicara. Setelah jam makan siang, ia menghampiri Nita di meja kerjanya.
"Nit, ada waktu sebentar? Aku ingin bicara," kata Rina dengan nada lembut. Nita mengangguk, meskipun raut wajahnya sedikit terkejut.