"Mukena dan Kematian"
Di sebuah desa yang tersembunyi di antara perbukitan, hiduplah seorang pemuda bernama Fayyadh. Kehidupannya sederhana, dan ia tinggal bersama neneknya, Nenek Nafsiah, di sebuah rumah kecil yang beratapkan daun rumbia. Mereka hidup dengan apa adanya, serba kekurangan, namun penuh kasih sayang.
Setiap bulan Ramadan, kakek Fayyadh, yang kini sudah tiada, selalu mengajak Nenek Nafsiah ngabuburit. Mereka berdua pergi ke tempat favorit mereka: bawah pohon besar di tepi sungai. Di sana, kakek dan nenek duduk bersama, menikmati senja, dan berbicara tentang masa lalu dengan cinta dan kasih sayang.
Namun sejak kakek pergi setahun lalu, Fayyadh merasa ada yang kurang. Ia ingin sekali mengajak Nenek Nafsiah ngabuburit ke tempat favorit itu, seperti dulu. Namun ada satu hal yang ingin Fayyadh lakukan lebih dari itu, Fayyadh ingin sekali membelikan Nenek Nafsiah mukena baru.
Nenek Nafsiah sudah lama memakai mukena yang sudah usang dan koyak saat sholat. Fayyadh ingin memberinya mukena baru agar Nenek Nafsiah bisa merasa lebih nyaman saat beribadah, terutama saat Lebaran nanti.
Namun uang Fayyadh belum cukup. Setiap hari, ia menyisihkan sebagian uang dari hasil kerjanya sebagai buruh tani. Celengan kayu di sudut kamarnya menjadi tempat di mana Fayyadh menyimpan uang itu. Ia mengumpulkan dengan rasa cinta dan haru, berharap suatu hari bisa membelikan Nenek Nafsiah mukena yang layak.
Hari-hari berlalu, dan Fayyadh semakin gelisah. Setiap kali melihat Nenek Nafsiah berdoa dengan mukena yang lusuh dan koyak, hatinya teriris. Ia ingin sekali menggantinya, tapi uangnya belum cukup.
Tepat di hari ke-17 Ramadhan, Fayyadh merasa uangnya sudah mencukupi. Tanpa sepengetahuan Nenek Nafsiah, ia pergi ke pasar dan membeli mukena dengan penuh kebahagiaan. Ia membayangkan betapa senangnya Nenek Nafsiah saat menerima hadiah istimewa ini.
di hari itu juga yaitu hari ke 17 ramadhan, Saatnya ngabuburit tiba, Fayyadh mengajak Nenek Nafsiah ke tempat favorit mereka. Dengan hati yang bahagia, mereka duduk di bawah pohon besar, seperti dulu. Fayyadh memberikan kado istimewa untuk Nenek Nafsiah. Dengan air mata dan gemetar, Nenek Nafsiah membuka kado itu.
Namun tiba-tiba, Nenek Nafsiah batuk dan sesak nafas. Fayyadh panik. Ia menyesal karena menganggap terlambat mengajak Nenek Nafsiah ngabuburit dan membelikan mukena. Nenek Nafsiah tersenyum lemah, lalu menghembuskan nafas terakhirnya.
Fayyadh menjerit dan menangis. Ia merasa bersalah, tapi juga berterima kasih. Meskipun Nenek Nafsiah tak sempat memakai mukena barunya, Fayyadh tahu bahwa cintanya telah sampai pada nenek tercinta. Dan di bawah pohon besar itu tempat favorit nenek dan kakek ngabuburit, di hari ke 17 Ramadan, Fayyadh berdoa agar Nenek Nafsiah bahagia di surga, bersama kakek.
Kini, Di sudut kamarku, terbungkus dalam kain putih, Mukena itu menanti, penuh harap dan cinta. Nenek, engkau yang mengajari aku baca Alquran, Dengan suaramu yang lembut, mengalun seperti senja. Kini, aku ingin mellihat nenek mengenakan mukena yang layak ini, agar kau merasa lebih dekat pada-Nya
Namun takdir berkata lain, Nenek. Sebelum kau sempat memakainya, kau pergi. Mukena itu kini terbuka, di atas meja kayu tua. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Nenek, kau pasti tersenyum di surga, Melihat cucumu yang menangis karena rindu.Mukena kado untuk Nenek, Ia tak pernah menyentuh kulitmu yang keriput. Namun ia menyimpan cerita tentang cinta dan kehilangan, Di antara benang-benang putih yang rapuh
"Nenek, semoga kau bahagia di sana, Bersama kakek, Mukena ini akan tetap ada, sebagai kenangan, Untukmu, Nenek tercinta"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H