Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Merangkai kata seideal fakta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pak "Kumpul"

19 Oktober 2013   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan penuh rasa ingin tahu Marsel mengeluarkan 3 amplob dari tas kecilnya. Sesekali matanya melirik laki-laki setengah baya yang duduk di sampingnya. Dia buka satu per satu. Amplob pertama berisi uang 400 ribu dan di bagian luar sebelah atas ada cap Bali Safari and Marine Park. Yang kedua berstempel Coffee Luwak Plantation. Isinya 150 ribu. Yang terakhir berlogo Kintamani Seafood Restaurant. Isinya 250 ribu. Dia menghitung selembar demi selembar sambil merapikan bagian-bagian sudut yang agak bengkok.
“Pak, ini uangnya. Semua 800 ribu”
Marsel menyodorkan uang itu kepada pria setengah baya berambut coklat, kulit putih dan hidung mancung. Pria itu tersenyum. Matanya yang kebiru-biruan tampak bersinar. Dia bangga, satu orang muridnya telah lulus tes hari itu.
“Itu untukmu saja. Pergunakan dengan baik. Hari ini saya adalah supir dan kau guide. Uang itu adalah tips dari tempat-tempat yang kita kunjungi tadi” kata pria itu dengan bahasa Indonesia yang nyaris sempurna. Aksen Perancisnya hampir tak terdengar lagi.
Marsel terkejut sekalius bingung. Merasa tidak layak menerima semua uang itu.
“Tidak Pak. Saya kan hanya training…”
Pria itu tidak menghiraukan Marsel lagi. Seperti biasa dia pelit bicara untuk hal-hal yang sudah jelas. Dia terfokus pada buku bacaan yang dia bawa kemana-mana untuk mengisi waktu senggang. Mereka diam beberapa menit. Di dada Marsel berbaur perasaan senang, heran, puas sekaliugus terharu. Seumur hidup dia belum pernah mendapat uang sebanyak itu. Dia terharu oleh ketulusan dan pengorbanan pria di sampingnya.
Pria itu menyeruput kopinya untuk terakhir kali, berdiri kemudian berjalan meninggalkan Marsel.
“Pak Kumpul, trimakasih banyak ya”
“Setiap pekerja layak mendapat upahnya” balas pria itu sambil berjalan. Suaranya pelan tapi kedengaran meyakinkan. Dia menuju mobil Avanza yang tadi dia parkir di depan warung kopi itu.
Marsel duduk termenung. Matanya berkaca-kaca, agak berair karena terharu dan bahagia. Pria itu telah menghilang pada tikungan pertama menuju Pasar Tradisional Ubud. Mengembalikan mobil rental itu pada pemiliknya. Sepanjang hari pria itu rela menjadi supir, membawa 4 orang gadis asal Australia, agar Marsel punya kesempatan untuk mempraktekkan bahasa Inggrisnya dan untuk menyempurkan kepercayaan diri. Awalnya Marsel tidak setuju dan menolak, tidak tega kalau guru agungnya itu menjadi supir. Tapi dia tidak punya pilihan lain karena pria itu bersikukuh pada pendiriannya dan dia konsisten tidak bicara sepatah katapun bahasa inggris sepanjang perjalanan. Marsel yang selalu menjelaskan dan menjawab pertanyaan tamu. Sesekali dia bertanya pada pria itu karena belum menguasai daerah yang mereka kunjungi, pria itu menjawab dengan bahasa Indonesia kemudian Marsel menerjemahkannya kepada tamu mereka.
***
5 bulan lalu pria itu beberapa kali datang ke perempatan jalan dekat lapangan bola, tempat Marsel dan teman-temannya biasa nongkrong menghabiskan sisa waktu di sore hari. “Ayo kita kumpul” kata pria itu. Bahasa indonesianya terbata-bata. Marsel dan teman-temannya tidak menghiraukannya. Sudah biasa bule berkeliaran di sekitar Ubud untuk melatih bahasa Indonesia mereka. Pria itu terus berusaha mengakrabkan diri pada mereka dan terus mengajak “berkumpul”. Karena penasaran suatu kali mereka mengikutinya. Mereka dibawa ke sebuah bangunan tua di pinggir kota, jauh dari penginapan. Setelah melihat papan tulis, buku-buku dalam ruangan tua itu, Marsel dan teman-temanya mengerti maksud pria itu. Dia mengajak mereka belajar bahasa Inggris.
Pada hari-hari pertama kursus itu cukup menarik bagi Marsel dan teman-temanya. Mereka lebih banyak tertawa karena bahasa Indonesia pria itu lucu dan sering salah. Mereka juga sering mengerjainya dengan mengucapkan kata-kata yang sulit atau sengaja membuat kalimat yang salah. Pria itu ikut tertawa ketika mereka tertawa. Mentertawakan kesalahannya sendiri. Tampaknya dia cukup bahagia dengan pekerjaannya.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Anak-anak itu segera merasa bosan dan merasa tak menemukan mamfaatnya. Marsel juga merasakan hal yang sama. Dia mulai membuat-buat alasan untuk tidak datang.
Pria itu tidak menyerah. Dia mengunjungi anak-anak yang tidak hadir. Di rumah, di tempat kerja, di jalan, di kos atau di manapun mereka ditemukan dia selalu menyapa “ayo, kumpul lagi”. Dia selalu menyempatkan diri beberapa menit untuk berbincang dengan bahasa indonesia yang makin baik dari hari ke hari. Sebelum pergi dia akan berkata “besok, kita kumpul ya”. Anak-anak di Ubud akhirnya sepakat memanggilanya Mr. Kumpul. Dia tidak marah ketika pertama kali mendengar nama barunya itu. Dia malah tertawa. “Lebih cocok kalau Pak Kumpul” katanya sambil terkekeh.
Sebelum bertemu dengan Pak Kumpul, Marsel merasa hidupnya sudah bahagia. Baginya bekerja di Laundry sudah lebih dari cukup. Makan tiga kali sehari. Menerima gaji tiap bulan untuk membayar uang kos, sedikit disisihkan untuk ditabung dan dikirimkan kepada orang tuanya di kampung pada akhir tahun. Sisanya untuk membeli rokok dan arak saat nongkrong bersama teman-temannya. Dia sudah cukup bahagia dengan hidupnya. Pak Kumpul benar-benar membuyarkan semuanya. Dia membuat Marsel mulai berani bermimpi dan berkahyal.
“Usiamu masih muda, segalanya masih mungkin bagimu. Bekerja dan belajarlah yang keras”
Nasehat itu selalu diulangi Pak Kumpul tiap kali Marsel tidak hadir di kelas. Seakan dirinya adalah misionaris yang mengunjungi umatnya satu per satu dan memberi siraman rohani. Pelan-pelan Marsel mulai mengerti apa maksudnya. Dia mulai membuka mata dan pikiran akan jalan hidup yang lain. Dia mulai iri melihat gaya hidup para guide di Ubud. Mengendarai motor Vixson dengan kaca mata hitam dan pakaian serba stylish. Tiap hari makan di restoran. Marsel sering melihat para guide itu datang ke tempat kerjanya untuk mengantar baju kotor. Seakan mereka tidak punya waktu untuk sekedar mencuci baju. Marsel mulai tertarik. Dia mulai paham apa artinya ilmu dan keterampilan sebagai bekal hidup.
Pak Kumpul telah membuka jalan sekaligus memberi kendaraan. Sekarang dia menjadi murid pertama yang dinyatakan Pak Kumpul  lulus dalam penguasaan bahasa Inggris. Marsel merasa kepercayaan diri dan martabatnya seakan naik saat menerima sertifikat sederhana dan pelukan hangat dari Pak Kumpul disertai tepukan tangan anak-anak yang lain. Tak pernah dia bermimpi untuk bisa berbahasa Inggris. Tak pernah dia berangan-angan memiliki sertifikat berbahasa Inggris. “Apakah ini mujijat?” tanya dengan polos.
***

Marsel belum beranjak dari tempat duduknya. Pikirannya masih berkelana. Dia mengelus-elus uang yang baru didapatnya. Hingga tampak mengkilat dan licin. Bayangan pria belum hilang dari benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang sering hadir dalam benak Marsel sejak 5 bulan lalu kini hadir kembali. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia begitu peduli pada kehidupan orang lain?. Bahkan orang yang tidak dikenalnya dan tidak mengenal dirinya.
Marsel tidak tahu apakah pria itu punya keluarga atau tidak. Apakah dia punya agama atau tidak. Pria itu tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya. Marsel tidak pernah melihatnya berdoa. Memang Marsel pernah melihatnya memakai kalung dengan salib kecil dibagian bawahnya. Marsel bertanya waktu itu “Are you a Christiant?”. Pria itu bangga karena Marsel sudah berani berbahasa Inggris. “Maybe yes, Maybe no. It’s depent on what really you think of being Chistiant” kata pria itu bersemangat, Marsel kurang mengerti apa maksudnya.
“Marsel, hurry up. Sebentar lagi kita kumpul. Kamu perlu cerita pada teman-teman pengalaman hari ini”
Marsel tersadar dari lamunannya. Dia buru-buru memasukkan uang itu ke sakunya. Pria itu menunggunya di pinggir jalan, di atas pespa tuanya.
Marsel memanggil penjaga warung, membayar kopi. Kemudian buru-buru meningalkan tempat itu. Baginya tidak penting lagi siapa pria yang hendak ditujunya itu.
Mereka biasaya memanggilanya Pak Kumpul, itu saja. Karena dia selalu kelihatan bersemangat, energinya seakan bangkit dua kali lipat ketika melihat anak-anak putus sekolah berkumpul untuk belajar. Seakan-akan di sanalah dia menemukan kebahagiaan. Seakan-akan di sanalah rumah dan keluarganya. Seakan-akan itulah agamanya. Marsel tahu, itu bukan seakan-akan, melainkan sesungguhnya.

Ubud, 5 November 2011
Untuk Marsel, teman dan sahabat, karyawan ASIAN Loundry

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun