Selain itu, gambaran toxic masculinity dapat ditemui dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Mulai dari ekspektasi terhadap pria untuk menjadi "tangguh" dalam menghadapi tekanan sosial, hingga norma yang menyulitkan pria untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan bebas. Budaya patriarki yang masih kental dapat memperkuat pandangan bahwa kekuatan fisik dan dominasi adalah penentu utama keberhasilan seorang pria.
Sejalan dengan itu, dampak dari toxic masculinity dapat terlihat dalam hubungan interpersonal dan perilaku sosial. Pria mungkin merasa terbebani untuk menunjukkan dominasi atau menekan emosi mereka, yang pada akhirnya dapat merugikan hubungan mereka dengan pasangan, teman, atau keluarga.
Perjuangan Melawan Toxic Masculinity di Indonesia
Meskipun tantangan besar, banyak individu dan kelompok di Indonesia yang berjuang melawan toxic masculinity. Pendidikan tentang kesetaraan gender, dukungan psikologis untuk pria yang ingin mengatasi pola pikir beracun ini, dan narasi positif dalam media adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengubah norma-norma yang merugikan ini.
Menyadari bahwa baik pria maupun perempuan memiliki hak untuk mengekspresikan diri tanpa dibatasi oleh stereotip gender adalah langkah pertama menuju masyarakat yang lebih inklusif dan sehat. Mendorong pria untuk merangkul kepekaan emosional dan membangun hubungan yang didasarkan pada keterbukaan dan penghormatan dapat membantu mengatasi dampak negatif dari toxic masculinity di Indonesia.
Sebagai masyarakat yang terus berkembang, kesadaran akan pentingnya merangkul keberagaman dalam hal ekspresi gender akan menjadi kunci untuk membentuk masa depan yang lebih seimbang dan adil di Indonesia.