Toxic masculinity menciptakan paradigma di mana pria atau laki-laki diharapkan untuk menekankan karakteristik tertentu, seperti kekuatan fisik, penolakan terhadap kelemahan, dan dominasi.Â
Secara tidak langsung, hal ini menciptakan persepsi bahwa seorang pria yang tidak memenuhi standar tersebut dianggap lemah atau tidak pantas dan bahkan acap kali disebut pria lembut, pria yang feminin atau kemayu. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi, terutama yang dianggap "lemah" seperti kesedihan atau ketakutan juga merupakan ciri khas dari toxic masculinity.
Toxic Masculinity di Indonesia
Toxic Masculinity adalah perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki yang identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Di Indonesia, fenomena toxic masculinity masih banyak ditemui di tengah masyarakat.Â
Frasa-frasa seperti 'Pria itu tidak boleh menangis,' 'Pria itu harus kuat, jangan lemah,' 'Pria itu harus melawan, jangan diem aja,' masih kerap didengar dalam kehidupan sehari-hari.Â
Menurut beberapa sumber, toxic masculinity berkontribusi pada ketidaksetaraan gender yang merugikan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa pria yang memiliki perilaku tidak sehat adalah mereka yang memiliki toxic masculinity yang ditunjukkan dalam perilaku mereka yang cenderung menyakiti orang lain.Â
Oleh karena itu, penting untuk membangun relasi yang sehat, saling mendukung pilihan pribadi tanpa embel-embel stereotip gender, serta memperbaiki konsep maskulinitas yang keliru.