Sebagian besar latar belakakang keputusan MK untuk membatalkan UU KKR menyinggung persepsi internasional berkaitan dengan isu yang sama, yakni penegakan HAM dan peyelesaian pelanggaran HAM berat.Â
Pertama, Pasal 1 Ayat 9 UU KKR dinilai tidak sejalan dengan praktik komunitas internasional yang umumnya tidak menyetujui pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM. Putusan MK menghendaki bahwa amnesti perlu dibatasi agar tidak terlalu memberikan keuntungan kepada pelaku pelanggaran HAM.
Terlebih, pengertian 'pelanggaran HAM' dalam UU KKR merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 7 dari UU tersebut, pelanggaran HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua jenis kejahatan tersebut, oleh komunitas internasional, disepakati sebagai kejahatan yang paling serius.
Kedua, Pasal 27 dinilai memiliki kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Putusan MK menjelaskan, di satu sisi amnesti dimungkinkan untuk dikabulkan, dengan syarat pelaku pelanggaran HAM melakukan rekonsiliasi dengan korban dalam bentuk permintaan maaf. MK mengistilahkan ini sebagai pendekatan individual criminal responsibility.
Namun, di sisi lain, para pelaku dan korban dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, sangat sulit ditemukan. Dengan demikian sangat tidak mungkin untuk mempertemukan antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM. MK juga berpendapat, dalam pendekatan individual criminal responsibility, amnesti hanya relevan menjadi syarat bagi restitusi saja.
Selain itu, MK berpendapat bahwa adanya amnesti sebagai syarat pertimbangan hukum juga cenderung "mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945," serta tidak sejalan dengan kesepakatan komunitas internasional yang umumnya mengutamakan penegakan hukum yang adil dan proporsional. Seharusnya pelaku pelanggaran HAM tidak memiliki kesempatan pengampunan, serta diadili berdasarkan tingkat pelanggarannya dan ukuran kerugian yang ditimbulkan.
Terakhir, pasal 44. Menurut putusan MK, sangat tidak mungkin KKR menutup penyelesaian perkara pelanggaran HAM secara hukum oleh pengadilan (alternative dispute resolution), hanya melalui cara mengusut suatu perkara terlebih dahulu. Terlebih penegakan hukum yang adil terhadap pelaku pelanggaran HAM telah diatur dalam UU Pengadilan HAM, sehingga penyelesaian oleh KKR tidak bisa memberikan impunitas.
Menurut salah satu penelitian dari Jurnal Mimbar Hukum (2007), sebelum munculnya putusan MK tersebut, lembaga International Center for Transitional Justice (ICTJ)Â pernah lebih dulu mengkaji UU KKR. Hasilnya, ICTJ mengamini bahwa UU KKR sejatinya bertentangan dengan apa yang diatur dalam sebagian sejumlah hukum intemasional.
Hukum internasional yang dimaksud adalah dalam bentuk sejumlah konvensi internasional, seperti salah duanya adalah Kovenan Internasional bagi Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) serta Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture/CAT). Di samping itu, UU KKR juga dinilai bertentangan dengan kesepakatan internasional tidak tertulis lainnya (nontreaty sources), salah satunya Reports and Statements of Principle (prinsip-prinsip hukum intenasional yang termuat dalam berbagai Laporan dan Deklarasi).
Penelitian tersebut menjelaskan, secara garis besar, produk-produk hukum internasional tadi berbicara tentang pentingnya untuk membatasi amnesti dan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
Terlalu Buru-buru