Dari diskusi mahasiswa di kampus, sampai obrolan ringan di warung kopi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hampir tidak pernah absen dalam pembicaraan tentang industri penyiaran, terutama lagi televisi.
Bukannya dipuji, lembaga yang katanya bekerja secara independen itu lebih sering dirundung karena kualitas kerjanya. Selama ini publik memang lebih mengenal KPI sebagai lembaga yang melalui tumpukan aturan populisnya, mereduksi experience milyaran orang menikmati tayangan televisi.
Misalnya, dalam mengontrol industri penyiaran, KPI cenderung menjadi hakim moral dengan mengeluarkan kebijakan sensor yang minim sekali konteks. Kini, sebagaimana yang sudah banyak terlihat, aturan tersebut ditafsirkan oleh industri televisi sebagai keharusan menutupi segala bentuk ketubuhan; termasuk visual-visual sebenarnya bukan termasuk pornografi atau objektifikasi seksual (yang sebenarnya bukan menjadi problem kalau tidak disensor).
Belum lagi berbicara soal keberpihakan, dimana kita semua tahu bahwa KPI terlihat lebih peduli mengakomodasi kepentingan pemilik industri. Buktinya, membersihkan bias kepentingan politik dalam tayangan media terus menjadi urusan yang tidak pernah selesai, apalagi mengupayakan agar industri penyiaran mendorong inklusifitas bagi para disabilitas.
Kemudian, pada awal Agustus lalu, timbul wacana KPI populis lainnya. KPI akan melakukan pengawasan terhadap konten digital, merentang dari media sosial hingga media streaming. Netflix dan YouTube adalah objek paling terang yang disasar oleh KPI. Wacana tersebut, menurut ketua KPI Agung Suprio, didasarkan pada temuan dan aduan dari masyarakat seputar kekerasan dan pornografi (Tempo, 10 Agustus 2019).
Namun, beberapa waktu setelahnya, menjelang akhir Agustus, KPI melalui komisionernya, Irsal Ambia, menegaskan bahwa mereka sudah menyadari kalau Netflix, secara konstitusional, tidak relevan bila menjadi objek pengawasan KPI. Hal ini mengingat UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 hanya mengamanatkan KPI untuk mengatur media konvensional yang bekerja dalam frekuensi, bukan digital (CNNIndonesia, 21 Agustus 2019).
Sikap KPI tersebut membuat penggemar Netflix bisa bernafas lega karena wacana pengawasan media baru pun sudah jadi angin lalu. Namun, entah mengapa tidak dengan saya. Pikiran saya masih terbawa oleh pernyataan Ketua KPI soal alasan wacana ini sempat bergulir.Â
Melalui tulisan ini, saya hendak mendeskripsikan dalam pendekatan teoritis, bagaimana KPI gagal memahami kedudukan Facebook, YouTube, dan Netflix sebagai media baru. Kegagalan tersebut, bagi saya, terlihat dari bagaimana wacana tersebut masih menempatkan masyarakat sebagai objek dampak media, sebagaimana ketika KPI mengatur soal televisi.
Sebenarnya, apakah konsep "terpapar konten media" masih reIevan dalam pembahasan efek media (baru) terhadap para penonton ? Sayangnya pertanyaan besar ini tidak menjadi bahan pertimbangan KPI. Tulisan ini ingin mengingatkan betapa pentingnya untuk melihat kembali substansi dari posisi khalayak dalam media baru, yang mestinya direfleksikan jika KPI ingin mengabulkan wacana tersebut.
Penonton yang "Berdaya"
Hampir segala pemahaman tentang cara kerja media selalu menempatkan penonton (yang selanjutnya disebut audiens/khalayak) sebagai objek yang pasif. Konsep khalayak pasif kurang lebih menjelaskan bahwa konsumen media memiliki kehendak dan kebebasan yang minim untuk menyeleksi atau mengorganisasikan tayangan yang mereka tonton.
Contoh real, ketika suatu program di jam tertentu tidak mampu memenuhi gratification (kepuasan/kebutuhan) seorang penonton, yang bisa dilakukan oleh khalayak pasif hanya mengambil remot kontrol untuk melakukan paling banyak dua hal : beralih ke tayangan lain, atau mematikan televisi lalu menunggu waktu dimana program yang sesuai gratification-nya akan tayang.