Bedanya, jika Spotlight membuat penonton merasakan betapa beratnya berburu narasumber, The Post menghadirkan gambaran betapa dinamisnya suasana di ruang redaksi (newsroom), rapat para reporter yang seakan tidak berujung dan proses editing berita yang super ketat. Secara psikologis, penikmat film diposisikan sebagai pihak yang terhimpit diantara tuntutan profesionalisme yang hati-hati dan deadline yang sungguh menekan.Â
Hal-hal semacam itu begitu ditunjukan secara gamblang dan mengena, misalnya melalui adegan dimana para reporter berusaha untuk menyortir 4000 halaman dokumen Pentagon --agar menjadi sumber pemberitaan yang valid dan sistematis-- dalam waktu yang begitu terbatas sambil menunggu diterbitkan keesokan harinya. Selain itu, adegan yang memperlihatkan suasana ruang redaksi saat mendengarkan hasil voting putusan Mahkamah Agung yang mengampu pengadilan pers melawan pemerintah juga tidak kalah membekas.Â
Belum lagi, ketika membicarakan adegan dimana Ben menghampiri Kay secara antusias dalam kondisi sedang membawa kantung kertas yang terlihat sangat penuh. Ketika isinya dikeluarkan, setumpuk penuh koran menyadarkan mereka bahwa langkah revolusioner Washington Post telah ditiru oleh media-media surat kabar lainnya.
Aktor dan aktris utama didalam film ini mempunyai permainan karakterisasi yang begitu kuat. Streep jelas sangat hebat memainkan mimiknya, yang dimana itu sangat menunjukan bahwa ia memiliki komitmen yang besar untuk menempatkan dirinya sebagai perempuan tua bernama Kay yang dihadapkan dengan tekanan dua pilihan dan konsekuensi.Â
Sikapnya yang begitu berpendirian dan mempunyai rasionalitas yang tinggi dalam menghadapi sebuah masalah, merepresentasikan sisi lain wanita sebagai individu yang mampu mencari tempat didalam pengambilan keputusan. Misalnya, ketika Kay berteriak kepada para komisaris dan ahli hukum : "Ini bukan lagi perusahaan ayahku, bukan lagi perusahaan suamiku, tetapi telah menjadi perusahaanku".Â
Berkat itu, dimensi melankolis berhasil memperkaya film ini dengan mulus tanpa mendominasi. Hal itu semakin didukung oleh akting Hanks sebagai jurnalis yang tidak hanya hebat dan pekerja keras, tetapi juga punya idealisme yang tinggi dalam menjunjung kebebasan pers serta ambisi yang serius dalam memenangkan persaingan media.
Namun, didalam film ini tetap teridentifikasi kekurangan-kekurangan yang mereduksi aspek sinematik dan cerita. Hampir sebagian besar dari setengah film ini menunjukan kekosongan konflik, yang dimana bisa saja itu membuat audiens bertanya-tanya : 'apa masalah serius yang dihadapi didalam film ini ?'
Mungkin ini adalah konsekuensi logis dari keterburu-buruan Spielberg dalam menggarap The Post yang dikarenakan proses produksinya bersamaan dengan momen pra-produksi Ready Player One. Disamping itu, musik latar yang kurang mendukung suasana secara substansial menambah daftar hal-hal yang diperbaiki.
Sebagai penutup, The Post tidak hanya berhasil mengkomunikasikan penilaian tentang bagaimana hubungan antara pemerintah dan pers yang baik dan seharusnya, tetapi juga sukses meyakinkan kita bahwa kecenderungan menjadi ahistoris dan sikap menyembunyikan kebenaran masa lalu bukanlah karakter yang pantas digenggam oleh sebuah negara.Â
Film ini mendorong publik untuk belajar dalam melihat sebuah rezim. Ada nilai yang begitu ditekankan disini, yakni bahwa demokrasi sejati hendaknya memperhatikan pilar keempat yang tetap meyangganya berdiri.Â
Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan publik, karena pada pers lah publik sepenuhnya menaruh akses dan kepercayaan mereka pada transparansi informasi. Hal ini begitu sejalan dengan pernyataan dariHakim Black yang menjadi penutup film ini : "Pers adalah untuk melayani rakyat, bukan pemerintah".