Dengan kata lain, pekembangan teknologi informasi yang semakin masif dan menawarkan interaktifitas, kemudahan dan efisiensi, membawa para industri media pada jalan baru sebuah paradigma pers yang lebih terdigitalisasi. Kasarnya, kemunculan internet membuat budaya lama yang kita dapatkan dalam pembelajaran jurnalistik konvensional bukan lagi menjadi nilai utama. Berbagai catatan sejarah selama beberapa tahun pun membuktikan betapa berhasilnya berita daring (dalam jaringan) menutupi kekurangan-kekurangan yang biasa masyarakat temukan kala bersentuhan dengan surat kabar, majalah atau buku.
Menanggapi fenomena tersebut, orang-orang yang bergelut di dunia media berusaha untuk menjawab pertanyaan : bagaimana caranya menjadikan berinformasi online sebagai budaya berinformasi yang --tidak hanya asik melainkan juga-- terpercaya untuk digandrungi dalam kurun waktu yang cukup lama (seperti apa yang terjadi pada media lama dari bertahun-tahun lalu hingga sekarang ini) ? Jawaban paling sederhana adalah membawa 'sesuatu yang baru' kedalam kebiasaan berinformasi online itu.
'Sesuatu yang baru' tersebut yang tengah digencarkan sepanjang satu dekade terakhir ini adalah hasil perpaduan yang apik, harmonis dan saling mengisi (atau melengkapi) antara : pertama, keterampilan mencari, mengumpukan, mengolah dan menyampaikan informasi yang ditemukan dalam jurnalistik ; kedua, kebolehan mengolah dan memainkan entitas-entitas visual dan grafis ; dan ketiga (yang menjadi titik perhatian utama dari essay ini), kompetensi memperlakukan bahasa-bahasa komputerisasi atau tidak lain tidak bukan adalah pengkodingan.
Semakin jauh jaman berlabu, semakin tipis tembok pemisah antara konten berita dengan pengemasan berita. Modernisasi telah membuktikan satu hal : seiring menuanya planet bumi, publik begitu percaya  bahwa definisi kreativitas dalam dunia pers kian begitu meluas --tidak hanya sebatas pada kreativitas menciptakan persembahan informasi yang aktual, faktual, penting, verifikatif atributif, dan terpercaya, tetapi juga menembus kreativitas dalam hal menghadirkan unsur nilai estetis melalui cara penyajian pemberitaan yang lebih menjamin unsur efficiency, fun dan directly (tiga poin yang membangun interactivity).
Dan kini, dunia mengakui, membiarkan dunia jurnalistik membukakan pintu selebar-lebarnya bagi disiplin ilmu sistem informasi --dengan tuntutan skill koding sebagai dasarnya-- untuk masuk adalah salah satu cara terbaik. Menurut penulis secara pribadi, sekaranglah saat yang (masih) tepat untuk membawa dunia pendidikan jurnalistik tidak hanya berhenti sampai perbendaharaan kata, tetapi juga melewati perbendaharaan kode --toh para individu jurnalis sudah pernah berurusan dengan kajian semiotika (ilmu tentang tanda/simbol/kode). Menerjemahkan kode komputerisasi mungkin lebih mudah daripada menerjemahkan kode interaksi dan komunikasi sosial simbolik didalam masyarakat.
Nick Diakopoulos, mantan rektor Rutgers Computing Innovation pun, percaya bahwa jurnalisme akan banyak memperoleh pembelajaran dari ilmu komputer. Dalam esainya yang berjudul 'Cultivating the Landscape of Innovation in Computational Journalism', dia mengemukakan bahwa jurnalis dan ilmuwan komputer pada dasarnya sama-sama memiliki minat utama terhadap informasi. "Journalists manipulate information on a daily basis, just like computer scientists do, but they call it stories," demikian ia berkata kepada towcenter.org.
Sayangnya, Indonesia adalah negara berkembang yang masih berkeyakinan rendah tentang pentingnya kompetensi koding dalam dunia jurnalisme. Hal itu dibuktikan dengan begitu jarangnya ditemukan sekolah atau perguruan tinggi yang bergerak di disiplin ilmu jurnalisme yang memberikan pengejaran seputar sistem informasi dan spesifik koding. Sungguh berlawanan dengan apa yang terjadi di beberapa negara maju dan berkembang lainnya, dimana mereka sudah menempatkan kurikulum pengkodingan sebagai syarat kelulusan.
School of Journalism of the Sciences-Po (Paris, Prancis) memliki pengajar bernama Pierre Romera, yang merupakan pendiri Jurnalisme C++ dan arsitek jQuest. Selain itu, juga ada School of Journalism di UT Austin yang kini sedang membangun platform yang memungkinkan bagaimana teknologi informasi mempengaruhi jurnalisme, dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan penyampaian cerita dengan seni koding. Menurut buku New Media and Transformation of Social Life in China (Xinwun Wu dkk, 2018), baru-baru ini pun School of Journalism of the University of Texas tengah menggalakan kurikulum "pemberitaan berbasis data". Hal itu didasari oleh dekan dari institusi tersebut yang memiliki keadaran sekaligus ketertarikan yang tinggi pada era jurnalisme digital.
REFERENSI