Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Masih Haruskah Jadi Orang yang Alay?

4 Juli 2017   22:39 Diperbarui: 6 Juli 2017   07:18 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Harian Jogja.

Seakan teknologi komunikasi sudah kehilangan fungsi sejatinya, kini bentuk komunikasi dikalangan pergaulan anak muda sudah terekontruksi secara tidak wajar. Esensi awal komunikasi ialah pertukaran informasi antara dua atau lebih pihak untuk mencapai persetujuan. Informasi yang dimaksud dapat berbentuk suara, tulisan dan visual (gambar atau video). 

Ketika fenomena pertukaran dan persebaran pesan tersebut secara membabi buta 'berpindah haluan tujuannya', di sinilah akan lahir proses komunikasi yang merepresentasikan paradigma narsisme yang berlebihan, atau dalam konteks jaman sekarang disebut sebagai 'alay'.

'Alay' sesungguhnya merupakan konsekuensi dari implementasi komunikasi lintas global yang tidak terkontrol dan terukur konteks tempat, waktu dan etikanya. Merujuk pada realitas yang ada, alay dipersepsikan oleh anak muda sebagai 'penyakit sosial' yang dimiliki oleh segelintir dari mereka yang mempunyai kebiasaan buruk mempertegas eksistensi diri secara berlebihan dengan mengandalkan pemanfaatan teknologi komunikasi. Media sosial adalah teknologi komunikasi yang digarisbawahi dalam essay ini. 

Facebook dan Instagram adalah segelintir dari contoh konkritnya. Sebagai salah satu bentuk teknologi komunikasi yang memungkinkan lintas global, Facebook dan Instagram sendiri menawarkan fitur yang cukup kompleks, dimana siapa saja dapat melakukan semacam aktivitas penempatan pesan atau biasa yang disebut dengan postingan. 

Baik dalam bentuk verbal (status) ataupun simbolik (hasil upload gambar atau video), penempatan pesan tersebut menciptakan semacam 'penwacanaan' yang membuka kesempatan bagi siapa saja untuk ikut berinteraksi di dalamnya; dalam bentuk sebutan komentar dan like. Ya.... Komentar dan like.... Dua hal itu lah yang akan menjadi titik berat dari pembicaraan di sini.

Seakan sudah menjadi kebutuhan primer, kini tidak sedikit generasi muda yang sungguh menggilai pemenuhan kebutuhan akan komentar dan like dalam kehidupan mereka. Hal tersebut merupakan dampak dari suatu kondisi di mana persepsi anak muda masa kini sudah terasuki oleh asumsi murahan yang mengatakan: 'semakin banyak like dan komentar, semakin saya terkenal'. 

Terkenal yang dimaksud sesungguhnya tidak bermakna terkenal sebagaimana secara harfiah, melainkan terkenal dalam arti bahwa eksistensi diri mereka diketahui dan dipedulikan oleh banyak orang. Akibatnya, banyak anak muda yang rela melakukan apa saja demi menampung seluruh pujian semu tersebut, bahkan dengan jalan yang tergolong konyol sekalipun. 

Entah mengapa dengan cara yang mengejutkan hal tersebut dijajaki oleh hampir semua anak muda produk modernisasi dan akhirnya menjadi tren. Gambaran paradigma serupa teruntuk-utamakan bagi anak muda tertentu yang sudah terlalu nyaman menempatkan tumpuan kebahagiaan hidupnya pada dunia maya. 

Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan 'bintang media sosial'. Tidak jarang istilah tersebut kini dipandang sebagai suatu bidang keprofesian, dikarenakan terdapat pertumbuhan yang siginifikan akan jumlah insan muda yang berhasil meraup pundi keuntungan melalui media sosial sendiri.

Dalam kondisi tertentu, satu akun 'bintang media sosial' dapat memproduksi belasan hingga puluhan postingan status dalam satu hari. Dengan begitu mudahnya, mereka menulis apa yang mereka pikirkan dan rasakan, dan dalam sekejap milyaran orang mempunyai akses hampir tak terbataskan untuk membacanya. Dengan begitu simpelnya, mereka membagi momen dengan banyak orang tidak dikenal, melalui bentuk hasil upload-an foto atau video. Pada umumnya, kebanyakan dari mereka digandrungi oleh banyak pengikut yang tidak menahu banyak hal. 

Ketika para kelebihan jumlah pengikut tersebut memenuhi kebutuhan komentar dan like mereka dengan kapasitas yang sangat besar, akun yang bersangkutan akan mengalami suatu proses yang dinamakan 'haus eksistensi'. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk melakukan pengulangan aktivitas serupa, dengan asumsi keuntungan bahwa mereka akan memperoleh lebih banyak respon dan acungan jempol hingga hasrat mereka terpenuhi (atau justru tidak akan pernah terpenuhi ?). 

Atas hal tersebut, tak heran kini banyak perusahaan komersial media sosial yang pada akhirnya berlomba-lomba menawarkan fitur yang memudahkan mereka untuk melakukan aktivitas demikian, meskipun mereka sendiri sadar bahwa itu semua serba minim manfaat dan kebaikan. Salah satunya adalah yang baru-baru ini disediakan oleh beberapa jenis media sosial pendatang muda. Mereka menyebutnya dengan istilah 'story' ; atau yang serupa tetapi lebih interaktif, yakni fitur 'live'. 

Kedua fitur tersebut memungkinkan siapa saja untuk membagikan satu atau lebih momen yang tengah atau telah mereka lalui, tanpa harus merepotkan diri dengan cara lama sebagaimana mereka memproduksi postingan biasa; dengan asumsi siapapun orang lain yang melihatnya akan mengetahui dan ikut merasakan apa yang pengirim rasakan. Di sinilah proses empati terjadi. Ketika empati tersebut memenuhi aspek keselarasan psikis pengirimnya, fitur tersebut dapat dengan mudahnya disalahgunakan tanpa sedikitpun diiringi dengan pertimbangan yang rasional.  

Padahal, dalam penggunaan yang terukur serta sesuai dengan konteks dan kebutuhan, fitur demikian (atau yang lain yang segaya) tentu akan kecil potensinya untuk tersalahgunakan. Namun, bagaimana jika dalam kondisi tertentu penggunaan fitur tersebut justru dimanfaatkan secara berlebihan tanpa memikirkan dampak kerugian terhadap orang lain? Realitas seperti demikianlah yang disebut dengan fenomena 'alay'. Siapapun pasti akan merasa terganggu aspek intrapersonalnya (risih) ketika dalam waktu yang berkelanjutan disuapi terus menerus kiriman momen yang sama dari orang yang sama. 

Dari sisi etika berkomunikasi, tentu itu melanggar prinsip kenyamanan bersama dalam berinformasi dan berjejaring. Maka, tak jarang pada masa milenial seperti ini lahir suatu istilah yang merepresentasikan streotip buruk kaum-kaum seperti mereka, yakni sebutan 'alay' itu sendiri. Bagi sebagian orang, kebiasaan buruk tersebut dianggap sebagai sesuatu yang cukup berguna; berguna dalam hal membantu mengisi waktu luang, menekan rasa kesepian dan sebagainya. Bagi para jagoan media sosial, mereka menganggapnya sebagai strategi pendekatan dan peningkatan hubungan dengan para penggemarnya. Padahal, itu semua bukan apa-apa, kecuali hanyalah sebuah buah-buah 'ketenggelaman' diri dalam keseruan tiada akhir media sosial.

Selain dengan cara tertentu dapat mengganggu orang lain, rutinitas demikian juga ditakutkan dapat menjerumuskan siapa saja kedalam yang namanya bencana kebocoran privasi. Dengan cara yang tidak terprediksi, privasi pihak tertentu dapat terpublikasikan melalui aktivitas selancar media sosial sekecil sekalipun. Anak muda yang sudah terlanjur memiliki ketergantungan absolut pada media sosial sebagai tumpuan kesenangan rutinitasnya, akan dapat dengan mudahnya menyebarkan sesuatu yang seharusnya tidak disebarkan dengan dasar alasan sensitif tertentu ; kapan dan dimana saja. 

Terlebih, anak muda adalah pribadi yang naif ; hati dan pikirannya penuh kehausan akan perlakuan menyenangkan dari orang lain. Jika media sosial terlalu terlibat didalamnya, hal tersebut akan menyeret jauh mereka dari dinamika dunia sosialisasi yang sesungguhnya, terutama sosialisasi primer. 

Maksudnya, keterlibatan teknologi komunikasi yang terlalu berkelanjutan dalam dunia kehidupan anak muda akan mematikan peran keluarga sebagai pihak utama dalam hal pewaris nilai dan sikap serta pembentuk kepribadian. Secara membabi buta, peran media sosial yang tak terkontrol akan menciptakan pergeseran persepsi dan pola pikir yang tidak seharusnya dalam memandang dan menilai kehidupannya, orang lain, bahkan dirinya sendiri.

Praktik budaya individualistik adalah satu dari sekian contoh konkritnya. Ketika anak muda membenarkan perbuatan 'alay' dan terus-menerus menikmatinya sebagai bagian dari implementasi kesenangannya, mereka akan tertransformasi menjadi pribadi yang begitu minim empati dan acuh tak acuh terhadap realitas yang ada di sekitarnya. 

Mereka lebih mudah mengaktualisasikan jati dirinya di dunia maya yang bahkan secara keseluruhan didominasi kedudukannya oleh orang asing yang tidak dikenal (atau bisa saja juga berbahaya). Konsekuensinya? Mereka akan mempunyai kemampuan yang lemah dalam beradaptasi dan mengaktualisasikan jati dirinya di tempat yang sebaliknya dan seharusnya, yakni di dunia nyata. Akan lahir yang namanya 'pembelokan tingkah laku' yang tidak seharusnya. Pembelokan tingkah laku yang dimaksud akan menciptakan perilaku sosialisasi yang keliru dan jauh dari kontrol etika. 

Hal semacam itulah yang mendorong lahirnya cap negatif dari orang-orang disekitarnya, hingga kemudian muncul istilah 'alay' sendiri untuk menegaskan cap tersebut. Stereotip itu akan semakin menekan kepercayaan diri milik 'yang alay' didunia nyata dan pada akhirnya akan membuat mereka semakin terpojokan dalam kenikmatan dunia maya.

Jadi.... Alay? Masih haruskah? Tentu tidak. Masih ada cara lain untuk menunjukan eksistensi diri tanpa melibatkan ketergantungan media sosial. Tujuan awal media sosial adalah tidak ada hal lain selain mempermudah perluasan ruang lingkup komunikasi sosial. Seiring bertambahnya jumlah penjajak internet yang sudah menyadari dampak buruk media sosial, penulis semakin meyakini bahwa merusak cara hidup dengan mengandalkan teknologi komunikasi (teruntuk-utamakan media sosial) hanya semakin menciptakan zona nyaman yang membuat siapapun betah untuk terus bersarang di dalamnya. 

Jadikan media sosial sebagai platform sekunder dalam berjejaring, bermain dan berakivitas. Sedangkan apabila sudah terlalu lama di luar daripada tiga hal tersebut, itu akan terus membuat siapa saja ketagihan untuk mengalihkan pengekspresian hidupnya kedalam kesemuan sosialisasi dunia digital yang tidak akan pernah ada ujungnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun