Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jadi Jurnalis Enggak Enak, Kata Siapa?

26 Juni 2017   21:20 Diperbarui: 27 Juni 2017   23:32 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : dokumentasi pribadi

Kata siapa kejurnalistikan itu bikin capek, banyak dan banyak aturan? Kata siapa kejurnalistikan itu selalu identik dengan bergaji rendah? Kata siapa kejurnalistikan itu minim prospek? Gak bikin kaya? Lalu apa lagi?

Hingga detik ini, jurnalistik dan kewartawanan (atau sekutunya, broadcasting misalnya) adalah salah satu dari sekian banyak bidang keprofesian yang sangat kecil potensinya untuk maju. Bagaimana tidak? Begitu tidak sedikit generasi muda yang sudah terlanjur menelan ludah siasat kuno generasi tua tentang 'tidak-enaknya' menjadi reporter, wartawan, jurnalis dan sebagainya.

Selain karena begitu dianggap sebagai profesi yang tidak menjamin kesejahteraan kehidupan dari aspek material, alasan utama yang mengiringi problema tersebut juga tidak terlepas dari adanya sudut pandang yang salah dari orang-orang yang memandang rendah jurnalitik itu sendiri --dalam hal ini terlebih generasi tua.

Bukan sesuatu yang sulit ditemui, dimana ada para orang tua yang dengan penuh berat hati memenuhi biaya kuliah putera-puterinya yang berkecimpung di dunia perguruan tinggi kejurnalistikan, karena sekali lagi, ironi realitas menunjukan bahwa pemasukan material (gaji) yang diperoleh dari pengabdian kejurnalistikan sungguh tidak sebanding dengan biaya pengeluaran yang diperlukan untuk mengasuh orang senaif dan setertutup anak muda milenial sekarang ini agar menjadi jurnalis yang memang benar-benar handal. 

Alhasil, tidak sedikit pula mahasiswa jurnalistik yang dengan sangat terpaksa dan berat hati berjuang dalam dinamika sadisnya dunia akademis perguruan tinggi (dalam hal ini kuliah jurnalistik) tanpa dukungan emosional yang mumpuni secara psikologis dari keluarganya, oleh karena adanya paradigma ketidaksetujuan tadi. Dari situlah, fenomena lahirnya produk fresh-graduate jurnalis yang tidak kompeten kemampuan adaptasinya dengan perkembangan realitas masa kini dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

Sebagai anak muda yang dibesarkan oleh keluarga yang secara eksplisit mengharamkan segala bentuk tindakan 'menyepelekan sesuatu', secara personal penulis mengakui bahwa kami menentang hal tersebut. Adalah kesalahan besar jika seseorang menumpukan jaminan kenikmatan hidup hanya dari sisi perolehan aspek material akan profesi yang dijalani. Karena seperti yang direkakan oleh kutipan sederhana orang bijak nan dermawan diberbagai belahan dunia, bahwa 'uang tidak selamanya bicara'. 

Merujuk pada permasalahan tadi, maka dalam essay ini penulis hanya menekankan bahwa faktor pengangkat kebahagiaan hidup tidak hanya melulu soal unsur material (uang, barang, kekayaan, dsb), tetapi juga unsur emosional (kepuasan, hiburan, sensasi, kesenangan, passion, dsb). Maka, mentah-mentah berorientasi pada uang dalam memilih pekerjaan adalah pola pikir yang keliru. Dan 'penyakit' tersebut adalah 'penyakit' yang pada umumnya dimiliki oleh kebanyakan pihak yang meremehkan keprofesian jurnalistik (maupun bidang keprofesian lain yang dari sudut pandang sejenis masih diragukan jaminan kredibilitas prospeknya).

Teringat penulis akan penggalan kalimat milik narasumber penulis, yang kala itu kami wawancara dalam rangka pemenuhan nilai tugas akhir perkuliahan. Kalimat yang sederhana, namun secara realistik mencerminkan kekuatan eksistensi jurnalis. Dia adalah wartawan yang belum lama menjajaki dunia kewartawanan di salah satu media televisi terkemuka di tanah air ; baru lima tahun tepatnya. Meskipun sebentar, kompetensinya dalam memandang dunia kejurnalistikan begitu mengena. Dengan logat Indonesia Timurnya yang begitu khas, beliau mengingatkan : "Menjadi jurnalis memang bukanlah profesi yang bisa membuat kamu menjadi orang kaya. 

Tetapi ada satu hal yang membuat kejurnalistikan itu berbeda, dan itu jadi nilai penting bagi kita semua, teruntuk-utamakan bagi siapapun yang pada pasalnya melihat-rendah jurnalistik (padahal bawasannya hidup mereka secara sadar atau tidak sadar bergantung pada arus informasi dari jurnalis dan media itu sendiri). Bahwa, jika dalam kebanyakan bidang keprofesian lain orang-orang berebut hari libur seperti orang gila untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan emosional (berlibur, berkumpul bersama keluarga, mencari pengalaman, dsb), maka dalam jurnalistik hal tersebut adalah sesuatu yang jarang terjadi. 

Terdapat batas yang begitu tipis antara berkerja dengan 'berpetualang'. Tidak sedikit jurnalis yang mengakui bahwa ketika mereka berkerja, disaat yang sama itulah mereka juga dikelilingi oleh berbagai macam peluang dan kesempatan untuk mengalami/menemui sesuatu (pengalaman) yang menakjubkan, bahkan dalam konteks waktu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Contoh sederhananya, adalah layaknya narasumber penulis sendiri. Pengalamannya mengunjungi lebih dari 30 kota besar di Jawa dan Sumatera dalam janga waktu dua tahun, serta hingga ke beberapa negara sekalipun, ditambah lagi kesempatan apik untuk menjadi bagian dari program mudik dan umroh gratis; semua itu ia peroleh karena apalagi kalo bukan kesetiaannya pada dunia kejurnalistikan.

Kebutuhan emosional seperti itulah yang tidak dapat dengan mudahnya orang-orang temukan dalam kebanyakan bidang keprofesian lain. "Dan saya bersyukur atas hal itu", demikianlah yang beliau ungkapkan saat diwawancarai secara personal oleh penulis.

Sekilas Menolak Lupa Tentang Keadilan....

Kisah ini emamg bukanlah kisah yang secara langsung melibatkan penulis didalamnya. Penulis memperoleh dan terinspirasi akan kisah ini saat tengah menjalani seminar wajib kepenjurusan yang penulis jalani saat di perkuliahan ; langsung dari yang berpegalaman selama bertahun-tahun.

Masih ingat dengan Mary Jane? Pendatang asing dari Filipina yang datang ke Indonesia dalam rangka mengadu nasib sebagai pembantu rumah tangga disini? Yang terciduk setelah (secara tak terprediksi) membawa berkilo heroine? Beberapa tahun lalu kasusnya menjadi booming tatkala dia menjadi korban penipuan organisasi jaringan narkoba internasional. Yang membuat itu semakin menjadi pusat perhatian masyarakat dan media, adalah sangat ironi sekali ketika ternyata hukum Indonesia tidak mampu memayungi penjaminan keselamatan dan keadilan baginya. 

Statusnya sebagai korban tersulap menjadi terdakwa oleh sadisnya hukum kala itu, sehingga ia harus menjalani proses eksekusi hukuman mati. Hukum Indonesia terlalu absolut jika menangani soal narkoba -yang dimana merujuk pada peristiwa tersebut, tidak peduli jika seseorang itu pelaku, hanya distributor atau bahkan korban tak berdaya (layaknya Mary Jane sendiri) sekalipun, yang penting adalah jika seseorang itu kehidupannya memiliki perkontakan dengan jaringan persebaran obat-obatan terlarang, dia tetaplah memperoleh perlakuan hukum sesuai dengan yang terkonstitusikan sekalipun itu berlawanan dengan aspek keadilan dan kemanusiaan.

Sejak beberapa dekade terakhir, isu-isu dengan gaya paradigma serupa tersebut menjadi bahan perdebatan raksasa dikalangan berbagai jenis kalangan masyarakat dan tentunya juga media -yang hampir tidak pernah kunjung-kunjungnya selesai. Terdapat kontradiksi sengit antara kubu 'patut hukum' dengan kubu 'penegak kemanusiaan'. Di satu sisi, si'patut hukum' mengansumsikan bahwa meskipun  putusan tadi meleset dari nilai kemanusiaan sekalipun, semua Undang-undang tentang obat terlarang tersebut tetaplah merupakan bagian dari hukum Indonesia. 

Sebagai negara konstitusi, kewajiban masyarakat untuk 'mengiyakan' segala peraturan yang ada adalah sesuatu kewajiban moral (?), meskipun itu bertolak-belakang dengan prinsip kemanusiaan yang mereka anut sekalipun. Di sisi lain, si 'penegak kemanusiaan', jelas, dengan cara yang varian mereka secara eksplisit menolak apa yang mereka anggap 'keliru' terkait kasus tadi. Hukum Indonesia keliru, mengapa bisa-bisanya memihak ketakperikemanusiaan seperti itu? ; Media juga lebih keliru, mengapa hanya bisu dan seakan sejalan dengan tindak tanduk pemerintah? kira-kira seperti itulah.

Dengan sedikit keringanan hati, penulis sepertinya mengiyakan pernyataan yang digarisbawahi. Karena PERS adalah komponen yang secara langsung terpayungi oleh Undang-undang dan negara, maka dalam hal ini mau tidak mau sudah sepatutnya media (bersama dengan jurnalis) tidak mungkin serta merta berseberangan dengan pemerintah, sehingga terposisikanlah mereka sebagai yang memihak kubu si'patut hukum'. Tetapi, bukankah justru pada bagian atas essay ini dijelaskan bahwa jurnalis juga berpegang teguh pada tanggung jawab moral dan kemanusiaan?

Disinilah para jurnalis kala itu (yang tentunya sepemikiran dengan penulis) tergerak menunjukan aksinya. Dengan sedikit modifikasi model pengarusan informasi yang lebih 'kencang', isu tersebut disebarluaskan dengan ditekankan sudut pandang kemanusiaannya (namun tetap berpegang pada kode etis jurnalistik). Pada perkembangan berikutnya, isu tersebut pada akhirnya menjadi isu nomor satu pada masa awal-pertengahan pemerintahan Presiden Joko Widodo, bahkan terdengar hingga sampai ketelinga pemerintah, termasuk Presiden sendiri. 

Alhasil, pada detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi mati Mary Jane, dengan cara yang mengejutkan Presiden Joko Widodo mengambil langkah secara personal untuk memerintahkan penegak hukum yang terlibat agar menangguhkan status terdakwa Mary Jane dan melakukan penundaan terhadap proses eksekusi mati tersebut. Setahun setelah Mary Jane 'batal' tereksekusi, pertemuan Mary Jane dengan keluarga dan saudara-saudaranya semakin menarik perhatian dan simpati lebih banyak pihak, dan lagi-lagi menjadi isu hangat. Semua itu, karena keuletan para pengabdi informasi.   

Disinilah, tanggung jawab moral dan kemanusiaan yang sesungguhnya penulis maksud. Jurnalistik bukanlah hanya sekadar bidang keprofesian belaka, karena di dalamnya secara langsung atau tidak langsung akan kita temukan keberpihakan yang absolut pada keuniversalan akan kebebasan, kesejahteraan dan hak asasi orang banyak. Bagaimana hati dan pikiran kita tidak damai luar biasa ketika banyak orang lain puas, tersenyum dan berterimakasih atas karya dan pekerjaan kita?  

Jangan takut untuk mengabdikan diri pada jurnalistik. Jurnalis adalah profesi yang mulia. Di satu sisi, mereka memang mengisi hidup mereka dengan pengabdian akan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan arus informasi. Namun di sisi lain, sekaligus pula mereka juga berpegang teguh pada pegabdian akan aspek moral dan kemanusiaan (yang dimana hal itu adalah sesuatu yang perlu untuk ditekankan dalam kehidupan urban yang serba individualistik seperti sekarang), meskipun sewaktu-waktu mereka tidak jarang menempatkan diri mereka di bawah segala-galanya, atau bahkan dalam konteks yang lebih parah lagi, seperti mengijinkan nyawa mereka sebagai taruhannya. Mulia dari dalam dan dari luar sekaligus.

Inti dari itu semua, berkarya dalam kejurnalistikan berarti sama dengan membuka pintu hidup seluas-luasnya bagi masuknya berbagai macam praktik pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang berharga, yang bahkan masyarakat luas terkadang tidak memahaminya sebagai bagian dari penghidupan kodrat dan martabat hidup mereka (kenapa jadi terkesan sok filsafat begini ya, hehe).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun