Kapasitas impor pangan juga terus mengalami peningkatan. Apalagi, dalam program Master Plan Percepatan Pembangunan dan Ekonomi Indonesia (MP3EI), terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan nasional, pemerintah membebaskan biaya import bahan baku bagi industri makanan dan minuman seperti susu, keju, gandum, dan sebagainya. Hal ini tentu akan semakin mengancam hasil pertanian nasional dan meneguhkan posisi Indonesia sebagai pasar pangan import.
Pada akhirnya, hasil produksi pangan nasional akan semakin tersingkir sehingga berdampak pada semakin rendahnya pendapatan kaum tani yang menyebabkan semakin susahnya kaum tani dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Seperti data yang dipaparkan Badan Pusat Statistik (BPS), dari total jumlah kemiskinan di Indonesia yang mencapai 30,02 juta orang atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia, 72%nya berasal dari sektor pertanian. Jumlah ini dipastikan jauh lebih besar karena indikator kemiskinan di Indonesia hanya diukur dari jumlah pengeluaran yang hanya sebesar Rp. 230.000 per orang setiap bulannya.
Sementara itu, seperti yang dikemukan oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Sedikitnya 450 ribu siswa dari 3,7 juta siswa yang lulus dari jenjang SMP putus sekolah karena kurang gizi. Dari jumlah itu, satu dari enam siswa mengalami kekurangan gizi akut dan satu dari tiga siswa mengalami kekurangan gizi kronis. (Kompas, 22/9/2011).
Krisis Energi Sebagai Salah Satu Faktor Pemicu Krisis Pangan
Selain karena krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah berdampak pada semakin terpuruknya perekonomian global, kenaikan harga pangan juga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya permintaan bahan pangan yang tidak hanya diperuntukkan bagi konsumsi manusia, tetapi juga diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan bahan mentah untuk pembuatan energi nabati (bio fuel dan bio solar) yang disebabkan oleh adanya krisis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara).[3]
Data dari tahun 2005 memperlihatkan bahwa konsumsi global akan minyak bumi per tahunnya mencapai 30 miliar barrel dibandingkan dengan temuan baru minyak bumi yang jumlahnya hanya 8 miliar barrel per tahun.[4] Sepuluh negeri terkaya di dunia mengkonsumsi hampir seluruh energi berbahan fosil dunia yang komposisinya terdiri dari minyak bumi (sekitar 35-38%), batu bara (23%) dan gas alam (21%), yang bahan bakunya kebanyakan dihasilkan dari negeri-negeri lain.[5] Sementara Amerikan Serikat sendiri, hingga saat ini tetap berada pada urutan pertama sebagai Negara dengan tingkat konsumsi minyak bumi terbesar di dunia yang mencapai sekitar 25% dari total persediaan minyak bumi dunia. Jika tingkat konsumsi minyak bumi AS ini tetap seperti ini, maka pada tahun 2025, AS akan mengkonsumsi 50% dari total persediaan minyak bumi dunia.[6]
Jika keadaannya terus seperti ini, maka diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[7]
Sebelum sumber minyak tersebut benar-benar habis, negeri-negeri Imperialis, AS dan sekutu-sekutunya semakin gencar melancarkan perang perampasan sumber-sumber energi minyak bumi yang kemudian dibungkus dengan kampanye global "perang melawan terorisme."
Selain itu, negeri-negeri imperialis juga gencar mengkampanyekan penggunaan bahan bakar nabati yang telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) seperti tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak, kelapa sawit, dan singkong, telah diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
Bersembunyi di balik isu pemanasan global, melalui penandatanganan Protokol Kyoto yang berlaku hingga tahun 2012, negeri-negeri imperialis mengklaim telah melakukan pengurangan gas emisi, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati pada industri mereka. Sebaliknya mereka gencar memaksakan negeri-negeri di belahan bumi bagian selatan seperti Indonesia untuk memproduksi energi nabati sebagai bahan bakar industri mereka yang umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara).
Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan[8], dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya. Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya.[9]