Mohon tunggu...
Mario Kulas
Mario Kulas Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary People

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perjuangan Buruh PT Freeport Indonesia, Pemerintah Berada pada Sisi yang Mana?

11 Oktober 2011   23:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141146" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi aksi pekerja Freeport Indonesia, 5 Juli lalu./Admin (KOMPAS.com/Reuters)"][/caption] Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina Ada yang bersenjata, ada yang terluka Ada yang duduk, ada yang diduduki Ada yang berlimpah, ada yang terkuras Dan kita disini bertanya "maksud baik saudara untuk siapa?" saudara berdiri di pihak yang mana?" Penggalan sajak diatas merupakan penggalan sajak dari W.S. Rendra berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa yang dibacakan Rendra di Universitas Indonesia pada 1 Desember 1977, sekaligus menjadi adegan awal film "Yang Muda Yang Bercinta" karya Sjumanjaya yang dilarang peredarannya. Penggelan sajak diatas seperti cocok menggambarkan sikap pemerintah Indonesia terkait dengan aksi ribuan buruh PT Freeport Indonesia (FI) yang menuntut peningkatan kesejahteraan hidup melalui kenaikan upah. Seperti yang selama ini diberitakan media massa, baik cetak maupun elektronik, kurang lebih 1 bulan sudah ribuan buruh PT FI melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut perbaikan kualitas hidup melalui kenaikan upah. Seperti yang diberitakan, upah buruh PT FI berada pada posisi terendah. Sebagai gambaran, pada tahun 2006, Freeport membayar pekerja di Amerika Utara sebesar $ 10,70 per jam, di Amerika Selatan, dibayar $ 10,10 per jam, tetapi di Indonesia itu hanya $ 0,98 per jam. Pada tahun 2010, pembayaran upah telah mencapai rata-rata $ 66,43 per jam, sedangkan di Indonesia hanya $ 4,42 - $ 7,356 per jam. Atas dasar inilah, ribuan buruh PT FI melakukan aksi mogok untuk menuntut peningkatan upah hingga US$30-50 per jam. Tuntutan ini juga didasari oleh besarnya resiko kerja buruh PT FI yang mana mereka bekerja diatas ketinggian 4.285 meter diatas permukaan laut. Pada hari Senin (10/10/2011), ribuan buruh PT FI kembali melancarkan aksi mogok dan berusaha menemui pihak manajemen PT FI. Namun, keinginan para buruh tersebut di halangi oleh pihak kepolisian hingga aksi tersebut berujung pada bentrokan antara buruh yang melakukan aksi dengan aparat kepolisian setempat. Bentorkan tersebut menyebabkan satu orang buruh dan satu orang polisi meninggal, serta 16 orang lainnya terluka yang 9 diantaranya adalah anggota kepolisian. Lalu bagaimana sikap pemerintah Indonesia menanggapi hal ini? Bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya, buruh PT Freeport Indonesia dibiarkan sendiri memperjuangkan hak-hak mereka yang sebenarnya telah dilindungi oleh undang-undang. Namun, pemerintah Indonesia seolah-olah lepas tangan dan menganggap bahwa persoalan tuntutan buruh dan PT Freeport Indonesia merupakan persoalan internal manajemen PT Freeport itu sendiri. Sikap pemerintah tersebut, telah mencabik-cabik rasa kebangsaan yang justeru tidak menunjukkan keberdaulatannya atas kekayaan alam yang dimilikinya sendiri, rakyat Indonesia ibaratnya telah menjadi budak di tanahnya sendiri. Bukankah udang-udang sudah menegaskan bahwa Negara berkewajiban melindungi rakyatnya? dan bukankah undang-undang juga telah menegaskan bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Keadaan ini kembali menunjukkan bahwa pengelolaan sumber kekayaan alam yang didominasi oleh asing, serta diorientasikan untuk kebutuhan asing, memang tidak akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya, Indonesia hanya diposisikan sebagai Negara penghasil bahan mentah murah, tenaga kerja murah, serta pasar yang luas bagi hasil produksi industry-industri asing. Wajar saja jika rakyat Papua menuntut kesejahteraan yang lebih dari keberadaan PT Freeport Indonesia. Sejak beroperasinya pada April 1967, PT FI belum mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat Papua. Hingga saat ini, Papua tetap saja sebagai propinsi dengan angka kemiskinan yang terbesar di Indonesia, di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88%. Sikap pemerintah yang cenderung pasif dengan tuntutan perjuangan buruh PT FI tersebut, sepertinya menegasikan wacana pemerintah dalam melakukan renegoisasi kontrak kerja pertambangan yang katanya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jika pemerintah serius tujuan renegoisasi kontrak pertambangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, seharusnya pemerintah mendukung perjuangan buruh PT FI yang juga merupakan rakyatnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun