Mohon tunggu...
Mario Reyaan
Mario Reyaan Mohon Tunggu... Ilmuwan - MSP, FPIK, UNPATTI

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Natal, Perayaan atau Peringatan?

1 Desember 2018   17:32 Diperbarui: 1 Desember 2018   17:52 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bulan Desember tidak hanya dikenal sebagai bulan kedua belas dari penanggalan kalender Masehi, tetapi juga dikenal sebagai bulan Natal. Bahkan, suasana Natal akan mulai terasa ketika kita semua berada pada penghujung bulan November.

Hal ini nampak begitu jelas dengan beragam aksesoris Natal yang dijual pada pusat-pusat perbelanjaan. Bulan ini (Desember) juga akan menjadi bulan yang sangat menyibukkan hampir seluruh umat Kristiani.

Pasalnya, daftar belanjaan para ibu akan bertambah dengan jumlah bahan pembuat kue Natal. Para kaum bapak akan mulai terlihat kotor dengan sisa-sisa cat tembok rumah, serta anak-anak yang mulai kebingungan untuk memilih pakaian Natal. Tentunya hal itu bukan lagi menjadi pemandangan yang baru bagi kita.

Berbicara tentang Natal. Natal (berasal dari bahasa Portugis yang berarti "kelahiran") adalah perayaan tahunan umat Kristiani pada tanggal 25 Desember untuk menyambut kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Cerita tentang kelahiran Yesus tertulis jelas dalam Kitab Suci (Alkitab) umat Kristiani (Injil Matius 1:18-2:23 dan Lukas 2:1-21).

Meskipun penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari raya Natal mengundang banyak kontrafersi, namun agama Kristen umumnya sepakat untuk tetap merayakannya pada tanggal tersebut. Hal ini didasari atas kesadaran bahwa penetapan hari raya liturgis lain seperti Paskah dan Jumat Agung tidak didapat dengan pendekatan tanggal pasti, namun hanya berupa penyelengaraan kembali acara-acara tersebut dalam satu tahun liturgi.

Disamping semuanya itu, rasanya tidak lengkap jika kita berbicara tentang Natal namun lupa pada Betlehem. Ya, kita semua tahu bahwa Betlehem di daerah Yudea merupakan tempat dimana Mesias (Yesus) dilahirkan (lihat: Matius 2:4-5).

Namun, peristiwa kelahiran Yesus yang terjadi ribuan tahun lalu itu juga tidak dapat menjadi sebuah perjalanan sejarah iman Kristiani yang utuh, jika ia pisahkan dari peran Maria dan Yusuf  sebab mereka berdua juga memiliki peranan yang sangat penting dalam peristiwa ingkarnasi Allah menjadi manusia yang terjadi di Betlehem. Seperti yang dijelaskan oleh Alkitab (Kitab Suci umat Kristen) Maria adalah seorang wanita yang bertunangan dengan seorang pria bernama Yusuf, yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Nazaret, Galilea.

Keduanya (Maria dan Yusuf) lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Kesederhanaan serta penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah inilah yang membuat keduanya terpilih sebagai aktor utama dalam cerita Natal.

Jika kembali membaca cerita tentang Natal seperti yang dikisahkan oleh penginjil Matius (Matius 1:18-25) dan Lukas (Lukas 2:1-7) dalam Alkitab, maka Natal dapat dimaknai secara berbeda-beda menurut versi orang zaman sekarang. Umumnya Natal dimaknai sebagai kedatangan Yesus, Sang Juruselamat, yang berkenan menjadi manusia lemah dan miskin, agar kita yang miskin dapat mengambil bagian dalam kekayaan ke-Allah- anNya itu.

Jika Natal memang dimaknai sebagai sebuah peristiwa kesederhanaan, mengapa Natal modern selalu identik dengan hura-hura dan kemewahan? Jawabannya terlalu sederhana, karena makna Natal kini telah mengalami pergeseran dari peringatan ke perayaan.

Modern ini, banyak orang telah memaknai kelahiranNya seperti orang Majus yang diceritakan oleh pada Injil Matius (Matius 2:11). Mereka kemudian berpendapat bahwa Yesus Kristus yang lahir ke dunia layak mendapatkan persembahan yang terbaik. Persembahan yang terbaik inilah yang kemudian dapat kita lihat pada pernak-pernik serta pesta Natal yang mewah. Sadar atau tidaknya, kemewahan itu sebenarnya menimbulkan keanehan dalam perayaan Natal itu sendiri sebab kesederhanaan kelahiran Yesus Kristus yang adalah pusat dari Natal menjadi hilang. Kalaupun ada, paling sekedar 'khotbah singkat' sebagai pelengkap acara.

Jika orang-orang pada era modern yang beranggapan bahwa pernak-pernik Natal yang mewah merupakan persembahan yang terbaik, maka sebenarnya mereka sangat keliru. Pasalnya, persembahan orang Majus dimaksudkan sebagai penghormatan tertinggi bagi Sang Raja yang baru lahir. Sedangkan mereka yang merayakan Natal dengan mewah sebenarnya tidak memberikan penghormatan yang tertinggi sebab mereka hanya mengeluarkan sedikit dari kekayaan mereka untuk memberikan kesenangan bagi diri sendiri atau orang-orang terdekatnya.

Dengan demikian, maka Natal sebenarnya tidak lebih dari sebuah acara tahunan yang meletihkan dan tidak akan meninggalkan bekas. Bahkan berlalu begitu saja. Sebaliknya, hanya ada sebagian kecil orang yang merayakan Natal sebagai sebuah peringatan. Ya, peringatan akan kelahiran Tuhan. Natal sebagai sebuah peringatan berarti kita semua yang mengimaniNya kembali mengingat peristiwa kelahiran yang terjadi ribuan tahun lalu di Betlehem. Peristiwa kelahiran seorang Raja Damai yang amat sangat sederhana. Dia adalah Raja diatas segala raja. Jika mau, Dia bisa saja memilih istana yang megah dengan kasur yang empuk sebagai tempat kelahiranNya, serta para bangsawan sebagai saksi peristiwa itu. Namun kenyataanya terbalik. Dia lebih memilih sebuah kandang hewan peliharaan dan kain lapin yang kasar sebagai tempat dimana Ia lahir. KelahiranNya yang amat sangat sederhana itu disaksikan pula oleh para gembala yang juga dikenal sebagai orang-orang paling rendah pada masa itu. Ia memilih untuk terlahir secara sederhana agar semua orang dapat mengambil bagian dari kemewahanNya. Inilah Natal yang pertama.

Mungkinkah kita semua bisa kembali pada Natal yang pertama? Tentu saja bisa. Kembali pada Natal yang pertama bukan berarti kita harus memutar kembali waktu ke zaman itu lalu pergi ke Betlehem, melainkan menciptakan Betlehem kita sendiri. Betlehem yang sunyi dan sederhana. Menciptakan Betlehem dan kembali pada Natal yang pertama ialah merasakan Kristus dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka pada suaraNya. Merasakan Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang berkekurangan, mereka yang luput dari perhatian kita, mereka yang dibalut oleh penyesalan dan terpenjara. Kita secara bersama-sama memproklamirkan tanpa kompromi tentang kelahiran Sang Penebus. Jadi, apakah salah jika melaksanakan Natal sebagai sebuah perayaan? Tidak demikian. Natal harus tetap dirayakan, namun Natal haruslah diarayakan sebagai sebuah peringatan kelahiran Tuhan yang sarat akan kesederhanaan. Memperingati kelahiran Tuhan tanpa merayakannya bagaikan tubuh tanpa jiwa. Begitupun sebaliknya. Sehingga, sukacita Natal yang kita rayakan sebagai peringatan akan kelahiran Tuhan tidak berakhir pada tanggal 25 Desember atau ketika lilin dan lampu pohon Natal dipadamkan melainkan terus-menerus dirasakan bersama setiap hembusan napas hidup kita. Inilah Natal yang sesungguhnya. Jadi, Natal seperti apakah yang anda jalani? Perayaan atau peringatan?

#Siput_Kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun