Dalam buku Boundary-Making: A Handbook For Statesmen, Treaty Editors, And Boundary Commissioners, Profesor Jones menjelaskan perlunya untuk memahami kebutuhan esensial dari pengetahuan tentang perbatasan dengan menguraikan berbagai bukti-bukti sistematis hasil dari observasi lapangan yang sebenarnya. Lebih lanjut jones menyampaikan bahwa penetapan batas, pekerjaan dalam ruangan, harus berjalan seiring dengan demarkasi batas, pekerjaan luar ruangan yang memerlukan pemahaman penuh tentang kekhasan geomorfik suatu wilayah. Di antara banyak masalah, yang dibahas di buku ini adalah jenis-jenis batas, seperti batas "alami" dan "buatan", batas pegunungan, batas pemisah air, batas sungai, batas air lainnya, batas geometris, batas kebangsaan, batas bahasa, batas sumber daya, dan lain-lain dengan masalah yang khas dan tidak pernah sepenuhnya dapat diatasi.
Secara lebih mendalam, Stephen B. Jones (1945), didalam buku A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas suatu negara. Didalam teori tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu, allocation, delimitation, demarcation, dan administration. Teori Boundary making yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Alokasi teritorial suatu wilayah ditentukan berdasarkan keputusan atau pernyataan politik, selanjutnya delimitasi batas ditentukan sesuai dengan perjanjian (treaty) yang telah mengikatnya. Untuk menegaskan batas di lapangan, maka dilakukan penegasan batas (demarkasi) dan akhirnya dilakukan pengadministrasian batas.Â
Di dalam tahapan boundary making diperlukan suatu peta. Peran peta didalam boundary making, antara lain : 1) Sebagai alat dalam negosisasi dalam rangka penetapan batas wilayah (tahap delimitasi); 2) Sebagai alat (instrument) dan pedoman dalam proses transformasi batas wilayah dari tahap delimitasi ke tahap demarkasi dilapangan; 3) Untuk menggambarkan dan menyajikan batas wilayah yang telah dibuat pada tahap delimitasi dan demarkasi. Jika dalam tahap demarkasi belum juga dilakukan, peta hasil delimitasi tetap dapat digunakan untuk menunjukan letak batas wilayah yang disepakati.
Teori boundary making yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Dalam konteks batas daerah di Indonesia keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Alokasi. Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah. Untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah - daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah msing-masing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Alokasi sebagai keputusan politik keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 25 A, Pasal 4 UU No.32/2004 dan Pasal-pasal UU tentang pembentukan masing masing daerah.
Delimitasi. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap ini delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik di atas peta. Ada tiga konsekuensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu : pertama, delimitasi batas diderah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada giliranya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah; kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah; ketiga, seleseikan delimitasi cakupan wilyah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam tahap delimitasi ini, hal yang sangat penting adalah terkait peta batas hasil dari kesepakatan yang nantinya akan dilampirkan untuk tahap demarkasi selanjutnya. Sehingga peta harus memiliki aspek yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Aspek kartografis meliputi penyajian peta, sistem simbolisasi/legenda, isi peta dan tema, ukuran peta (muka peta), dan bentuk penyajian/penyimpanan data.
Demarkasi. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti dilapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititik beratkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas.
Administrasi. Administrasi merupakan tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah yaitu dengan mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembanganya administrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan. Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut Theory Boundary Making kegiatan administrasi/ managemen pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataanya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi dilapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi/managemen berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas dilapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H