Mohon tunggu...
Marinus Heluka
Marinus Heluka Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis warga

"Budayakan membaca dan menulis"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Sedih Pelajar di Wamena

5 Desember 2024   12:01 Diperbarui: 5 Desember 2024   12:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Wamena, di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, tinggal seorang pelajar bernama Melianus, seorang anak berusia 15 tahun yang bercita-cita menjadi seorang guru. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara, tinggal bersama orang tuanya yang bekerja sebagai petani kecil.  

Melianus adalah anak yang cerdas dan rajin. Namun, hidupnya penuh tantangan. Setiap pagi, sebelum matahari muncul di balik pegunungan, Melianus harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer ke sekolah. Jalannya terjal, melewati sungai tanpa jembatan, dan sering kali licin saat hujan turun. Sepatunya sudah robek di beberapa bagian, namun ia tetap memakainya, karena tak ada uang untuk membeli yang baru.  

Di sekolah, Melianus adalah salah satu murid yang paling bersemangat. Ia selalu duduk di depan, mendengarkan guru dengan seksama, dan mencatat dengan rapi meskipun hanya menggunakan buku bekas yang didapatkan dari sumbangan. Namun, sering kali perutnya keroncongan karena ia hanya sarapan dengan ubi atau singkong rebus.  

Suatu hari, saat ujian semester tiba, Melianus menghadapi kesulitan besar. Lampu minyak di rumahnya kehabisan bahan bakar, dan keluarganya tidak punya uang untuk membeli minyak baru. Malam itu, ia belajar di bawah sinar lilin yang redup, ditemani suara jangkrik dan dinginnya malam Wamena.  

Pagi harinya, ia tetap pergi ke sekolah dengan tekad kuat. Namun, ketika ujian dimulai, pensil satu-satunya patah, dan ia tak punya cadangan. Dengan air mata mengalir, ia berusaha menulis menggunakan sisa pensil yang pendek, meskipun sulit untuk menggenggamnya.  

Sepulang sekolah, Melianus duduk di tepi sungai, merenung. Ia merasa lelah dan hampir menyerah. Namun, ia teringat pada ibunya yang selalu berkata, "Nak, pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan kita. Jangan pernah menyerah." Kata-kata itu menguatkan hatinya.  

Melianus pun kembali ke rumah dengan semangat baru. Malam itu, ia menatap langit berbintang sambil berdoa, berharap suatu hari ia bisa mengangkat keluarganya dari kemiskinan dan menjadi kebanggaan desa kecilnya.  

"Saya harus kuat," kata Melianus dalam hati. "Biar sulit sekarang, saya percaya ada hari yang lebih baik di depan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun