KEJUJURAN. Kita lihat, mas angkringannya tidak pernah hitung apa yang kita pesan dan makan. Kita hanya ambil dan makan saja, setelah itu baru dihitung untuk dibayar", jelasku sambil meneguk jahe yang tersisa. Kami pun bangun, menghitung apa yang telah kami makan, dan bayar.
...
Saya mulai terlibat di kegiatan-kegiatan keorganisasian kampus. Saya mengawali dengan menjadi panita Pemira (Pemilihan Raya) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Saya tidak hanya bertemu teman-teman yang sekelas, tetapi dari hampir seluruh kelas dari berbagai jurusan, fakultas sekampus.
Saya melihat keberagaman orang-orang yang saya jumpai. Perbedaan pandangan, pendapat dan karakter adalah hal yang mecolok di setiap dinamika kepanitian. Saya awalnya kesulitan beradaptasi dengan situasi baru seperti ini. Untung Fajar, teman satu kos, yang telah menguasai forum-forum seperti ini, dengan gayanya yang ceplos-ceplos dan cepat akrab menjembatani situasi ini.
Semuanya berjalan dengan normal, walau tidak sempurna. Sebelum melepas pergi kepanitiaan itu, kami melakukan evaluasi. Momen, saya paham betul tentang apa yang sebelumnya saya belum paham. Yaitu, menerima perbedaan. Istilah kerennya, toleransi. Saya mulai belajar tentang perbedaan yang ada pada setiap orang. Perbedaan suku, agama, ras, golongan, latar belakang keilmuan, pasti memunculkan perbedaan pandangan-pandangan yang tidak mudah disatukan. Hemat saya, toleransi itu sederhana. Walaupun agak susah dipahami ketika kuliah di semester satu, kala itu.
...
Saya diajak waktu sampai pada pertengahan waktu kuliah. Saya berani beraktivitas dan berdinamika di oragnisasi, baik yang intra maupun ektra kampus. Semakin luas lingkungan saya, semakin saya menemukan luasnya keberagaman itu sendiri. Semakin saya menjumpai orang dengan berbagai latar belakang, ada teman beda kampus, beda organisasi, beda profesibahkan beda umur, wawasan saya makin dikayakan dengan nilai-nilai pluralitas dan keberagaman di Indonesia. Dan saya mau sebut, di tempat inilah seorang anak desa yang tak paham tentang pluralitas, keberagaman dan toleransi, bisa tercerahkan.
Mengutip kata-kata Bapak Pluralisme Indonesia, Abdurahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, beliau bilang, "Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu". Hemat saya, kutipan ini menjadi pelengkap segala diskursus tentang keberagaman dan toleransi. Dan, saya paham betul itu, setelah saya bergabung dengan organisasi yang ber-ruhkan semangat Nasionalisme dan Pancasila.
Tentang nilai toleransi yang lebih fundamen saya belajar dari Robby. Keluarganya tinggal di Temanggung. Saya pernah menghabiskan beberapa malam di sana untuk mengamati secara langsung apa yang diceritakan pada saya. Sembari menikmati tembakau olahan ayahnya, kami bercerita tentang keluarganya yang memiliki perbedaan keyakinan antar ayah dan ibu serta naka-anak. Ibunya menganut Katolik, sedangakan ayahnya menganut Islam.
Robby empat bersudara. Kedua kakaknya, Â satu perempuan dan satunya laki-laki, memilih mengikuti kepercayaan ayahnya. Dia dan adiknya perempuan memilih mengikuti kepercayaan ibunya. Saya kadang merenung sendiri. Betapa indahnya berada di tengah keluarga majemuk dan harmonis seperti keluarga Robby. Mungkin banyak di luar sana yang seperti ini, tanpa menafikan kalau ada juga yang tidak atau belum seperti ini.
Pada kisah yang lain, teman seorganisasi saya. Kami memanggilnya Bung Halim. Gaya berbicaranya seperti politisi, mungkin karena berkecimpung di organisasi sebagai aktivis atau sudah katam pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang konsepsi bangsa melalui Pancasila, Nasionalisme, dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.