Sebagian pengamat, menyebut tindakan Ahok ini sebagai membangkitkan kembali “iblis” modus dana non-bujeter yang sempat bergentayangan selama Orde Baru yang seharusnya sudah ditumpas Reformasi 1998.
Kini, setelah beberapa waktu lalu Menko Rizal Ramli memutuskan untuk menghentikan selamanya pembangunan Pulau G atas hasil rekomendasi Komite Gabungan yang dibentuk Pemerintah Pusat lintas kementerian bersama Pemda Ja(ya)karta, Ahok malah melawan balik.
Tanpa malu menyarankan Podomoro untuk menuntut Pemerintah secara hukum atas kerugianakibat putusan Menko Rizal Ramli ini. Padahal beberapa bulan lalu Ahok menjadi orang yang paling merasa lega setelah beban berat Reklamasi ini (pasca tertangkapnya Dirut Podomoro yang berusaha menyuap anggota DPRD Ja(ya)karta terkait penyusuan Perda Tata Ruang dan Wilayah Reklamasi) diambil alih dari pundaknya oleh Komite Gabungan bentukan Rizal Ramli.
Tapi bukan kali ini saja keputusan resmi negara dilawan Ahok, pada 31 Mei 2016, PTUN Jakarta memenangkan gugatan nelayan untuk menghentikan reklamasi Pulau G (sebuah peristiwa hukum yang sangat langka sepanjang mungkin 50 tahun terakhir perjalanan Bangsa menurut Menteri KKP Susi Pudjiastuti). Ahok lagi-lagi memilih untuk tidak melaksanakan putusan Hakim PTUN Jakarta tersebut, malah menyarankan Podomoro untuk naik banding. Benar-benar pantas Ahok menyandang gelar “Gubernur Podomoro”, dari Menko hingga Hakim semua dilawannya.
Harapan terakhir Ahok adalah Jokowi. Ahok meminta Jokowi untuk turun tangan membelanya yang tetap ngotot menginginkan kelanjutan proyek reklamasi Podomoro di Pulau G. Ahok sepertinya lupa, bahwa selama menjabat Gubernur Ja(ya)karta, Jokowi (Oktober 2012-Juni 2014) menggantung saja perizinan reklamasi Teluk Jakarta termasuk Pulau G. Memangnya Ahok, belum lagi dilantik, masih menjadi pelaksana tugas (.plt), perpanjangan izin prinsip beberapa pulau reklamasi termasuk Pulau G sudah ditanda tanganinya pada Juni 2014 (saat Jokowi sedang izin cuti sebagai Gubernur karena harus mengikuti Pilpres 2014).
Beberapa saat yang lalu juga publik dihebohkan oleh sebuah video di situs youtube yang berisi pernyataan Ahok bahwa Jokowi pun tidak akan bisa jadi Presiden kalau bukan karena pengembang. Saya secara pribadi mengutuk dan tidak bersepakat dengan pernyataan Ahok ini. Cukuplah Ahok sendiri sebagai “Gubernur Podomoro”, tidak usah mengajak-ajak Jokowi sebagai “Presiden Podomoro”. Jokowi adalah suatu fenomena yang mungkin hanya muncul sekali dalam seumur hidup perjalanan Bangsa Indonesia sejak merdeka. Jokowi dengan Revolusi Mental-nya adalah manifestasi pilihan/kehendak rakyat Indonesia yang menginginkan kelanjutan pemerintahan Bung Karno seetlah 1965, yang sempat terinterupsi hampir setengah abad oleh Orde Baru dan Reformasi (1966-2014). Ahok harus tahu ini.
Kini, Ahok yang berkarakter neofasis mirip Orde Baru, membela mati-matian proyek reklamasi yang dicetuskan di masa Orde Baru, kebanyakan pulau reklamasi Teluk Jakarta (sebelum dijual) dimiliki anak dan kroni Orde Baru, dan membangkitkan kembali praktik (koruptif) pendanaan non-bujeter ala Orde Baru, kini mau mengajak Jokowi bersolidaritas atas kesulitan-kesulitannya.
Ahok harus tahu diri, bila bukan karena Jokowi, saat ini dia hanya anggota DPR biasa dari Golkar (mantan penguasa Orde Baru!). Adalah suatu keajaiban politik Ahok dapat menjadi Gubernur di luar tanah kelahiran dan dapilnya. Wong, beberapa tahun lalu saja Ahok sudah gagal dalam Pilkada Provinsi Belitung, tanah kelahirannya dan dapilnya. Sudah pas itu nama A-hok sebagai akronim: anak hoki. Hoki yang sebenarnya keberlanjutannya sangat bergantung dari belas kasihan dan maaf Jokowi. Apakah masih ada harapan bagi si neofasis Anak Hoki?
Entah lah. Pastinya besok pagi, 20 Juli 2016, masyarakat Taman Aquarium Sunda Kelapa akan melakukan long march ke Istana Jokowi di Medan Merdeka, mengadukan nasib mereka sebagai korban gusuran. Masyarakat Sunda Kelapa ini ingin mengingatkan Jokowi, yang kabarnya juga pernah menjadi korban gusuran saat kecilnya di Solo, betapa menderitanya mereka di bawah pemerintahan Neofasis di Ja(ya)karta ini.
Juga masyarakat Sunda Kelapa ini ingin mengingatkan Jokowi bahwa sebelum menjadi Presdien, Ia pernah sebanyak tiga kali mengunjungi wilayah yang juga basis partai tempat Jokowi bernaung ini. Dan kabarnya Jokowi juga pernah berjanji kepada seorang warga di Sunda Kelapa yang merupakan keturunan PNI (Partai Nasional Indonesia, organisasi politik Bung Karno sejak 1927), bahwa bila jadi Presiden tidak akan pernah menggusur wilayah ini. Namun, setelah Jokowi jadi Presiden, Ahok malah menggusur sebanyak empat RT di wilayah Taman Aquarium Sunda Kelapa.
Cukuplah Ja(ya)karta dipimpin oleh seorang neofasis semacam Ahok. Seperti Bung Karno, Jokowi juga sudah harus mulai memikirkan pemimpin Ja(ya)karta yang memiliki kapasitas untuk mempercantik Ibukota Bangsa ini, menjadikannya kembali berbudaya. Jakarta tidak perlu lagi pembangunan gedung-gedung pencakar langit, kantor, mall, apartemen, dll, untuk simbolkan pertumbuhan ekonomi, karena toh model pembangunan ekonomi Jokowi sudah mengarah ke luar Pulau Jawa dan pinggiran Indonesia (sesuai Nawacita).